12 Apr 2012

Maut

            “Dua roda belakang bocor!” teriak kondekturr pada supir.
            “Ambil dongkrak,” sahut supir. “cepat ganti, nanti keburu gelap!”
            Cuaca terlalu panas, terlalu panas untuk berhenti di tengah jalan yang gersang sekarang. Punggungku berkeringat, basah membekas pada bangku yang kududuki.  Cuaca terlalu panas, walaupun waktu menunjukkan telah petang. Musim panas, yeah aku tidak pernah suka musim panas.
            Kubuka jendela sepenuhnya. Sekelebat angin panas menerpa wajahku. Kulihat kondektur sedang memutar dongkrak. Wajahnya basah oleh keringat, terlebih pakaiannya dengan kaos abu-abu bergambar Marlyn Monroe tanpa pakaian. Handuk birunya yang dilingkari di tengkuk pun tak luput basah. Si kondektur seperti sedang mempertaruhkan nyawa, di tengah terik matahari.
Si supir pun keluar dari bus dan membantunya. Dia merokok. Merokok di tengah terik matahari seperti ini. Asap tembakau menyembul dari mulutnya, ketika menggelindingkan roda cadangan. Aku ingin merokok, melihat si supir merokok, aku pun ingin merokok. Tidak, aku tidak perlu merokok, yang kubutuhkan adalah air di cuaca seperti ini.
Kubuka botol air mineral yang kubeli di perhentian sebelumnya. Kosong, tak tersisa setetes pun. Kerongkonganku makin terasa kering, segersang aspal jalan membayang yang kupandang. Kuperhatikan sekeliling jalan lewat jendela. Tak adakah rumah makan, tak adakah kedai minum di sekitar sini. Kerongkonganku terlalu kering dan lapar, aku dehidrasi.
“Tak bisakah, kau tutup jendelanya?”  ujar seorang wanita. “Terlalu panas untuk membuka jendela sekarang, kau tahu?”
Kulihat wajah wanita itu. Wanita paruh baya, dengan hidung besar, wajahnya memerah kepanasan, dan terlihat makin panas dengan apa yang kulakukan. Aku memandangnya beberapa detik, sejak aku duduk bersebelahan dengannya dari terminal keberangkatan, aku tidak pernah melihat wajahnya seksama. Bibirnya agak tebal, dan telinga kirinya terlihat seperti lebih kecil dari telinga kanannya.
“Hei, kau dengar?” ujarnya lagi kesal.
Aku menutup jendela tanpa menyahutinya. Tidak, aku tidak menyahutinya karena kerongkonganku terlalu kering untuk bicara. Wanita ini hanya membuatku tambah merasa haus. Kupandang lagi sekitar jalan, menghindari wajah aneh wanita itu. Angin bertiup cukup kencang. Karena hari memang sudah petang, tapi cuaca terlalu panas untuk disebut petang. Angin panas menerpa debu di sekitar jalan, kulihat si kondektur dan si supir melindungi wajahnya dengan handuk mereka.
Aku merasa haus. Kerongkonganku benar-benar kering. Aku menyesal tidak membeli air botolan lebih, aku membatin. Kenapa aku tidak pergi saat musim dingin saja atau musim semi juga tidak terlalu buruk, walau di negeri ini tidak ada musim semi. Saat musim panas seperti ini, pemikiran terbaik adalah duduk pada teras dengan segelas air jeruk perasan, ditambah tiga sendok gula dan banyak batu es. Kemudian membaca beberapa buku, juga mendengar musik tentang kerinduan. Atau mendengar prakiraan cuaca lewat radio, atau pun menonton beberapa pertandingan sepak bola di TV. Tidak, saat musim panas tidak seorang pemain pun yang mau bermain sepak bola, mereka pun berpikir yang sama denganku. Mungkin, menonton perlombaan renang.
Renang, aku ingin berenang di musim panas seperti ini. Berenang di sungai bening dengan arus lembut. Beradu cepat dengan ikan-ikan gabus tua, dan sudah barang pasti aku yang menang. Aku perenang ulung, perenang jenius. Aku rindu tempat tinggalku, aku rindu sungai kecil di sana. Semasa kecil aku selalu berenang di sana bersama kawan-kawanku, dan memancing gabus-gabus tua setiap musim panasnya. Aku ingin berenang, dan aku butuh air.
Kudengar wanita aneh di sebelahku mengeluh pada si supir dan si kondektur. Kata-katanya tidak jelas, mungkin lidahnya terlalu pendek karena kepanasan. Aku tidak suka dengan wanita ini. Kuambil ransel yang kuetakkan di bawah bangku, seraya bangkit dari duduk. Berjalan kesulitan melewati wanita aneh itu tanpa permisi. Wanita aneh itu memandangku kesal, aku tak menghardik wajah anehnya.
“Mau apa kau, heh?” ujar si wanita aneh dengan mimik wajah memerah seperti kepiting rebus.
“Menjauh darimu.” ujarku tenang, mengacuhkannya.
Aku menyusuri lorong bus yang sempit. Para penumpang lain yang kepanasan menatapku, masing-masing dengan wajah-wajah aneh tak berbentuknya tanpa berkata. Aku menuruni bus. Cuaca lebih panas menyengat di luar. Kulit seperti terbakar, kepalaku pening seketika. Si supir dan si konduktor yang tetap sibuk teralihkan perhatiannya.
Si supir masih dengan rokoknya bertanya, “Mau kemana, Pak?”
“Mencari kedai minum,” jawabku menyipitkan mata menatapnya. “aku berjalan kaki saja.”
“Sudah hampir selesai, kok.” Ujar si kondektur.
“Masuklah, di luar sangat panas.” Ujar si supir menambahkan.
“Tidak, terima kasih,” sahutku. “tujuanku sudah dekat.”
Aku tahu aku berbohong pada mereka. Tempat tujuanku masih sangat jauh. Jalan ini hanya jalan kosong, gersang, dan beberapa kilometer panjang lagi. Dan mereka tahu aku bohong, mungkin bodoh.
Aku berjalan meninggalkan mereka, menjauhi bus. Sejenak kulihat balik si supir dan si kondektur tetap memandang kepergianku. Tidak begitu jelas wajah mereka, panas di luar menyebabkan aku tidak bisa melihat dengan jelas, terlalu silau dan panas. Mereka dan bus perlahan menghilang dari pandangan. Di luar benar-benar sangat panas. Kepalaku pening, jaket yang kukenakan pun tak berdaya melindungi kulit. Uap panas dalam jaket membakar kulitku. Keringat basah deras keluar di sekujur pori-pori wajah dan tubuh.
Aku berjalan terus. Aspal jalan begitu kering, di bagian tengahnya terdapat retakkan, memanjang ke depan. Jalan ini benar-benar sangat gersang. Di setiap sisi jalan hanya ada lapang rerumputan kering berpasir cokelat kekuningan. Rumput telah kering menguning, tak ada pepohonan. Bahkan tak kendaraan satu pun yang lewat selain bus yang berhenti. Hanya terasa tiupan angin panas menerpa wajahku yang membawa pasir-pasir kering.
Kerongkonganku kini menjadi perih. Aku sangat haus, dan kepala sangat pening. Sejenak kuhentikan langkah, mencoba menjernihkan pikiran dan mengatur alur napas. Kemudian berjalan kembali. Lagi-lagi pikiranku memutar kenangan di sungai sewaktu kecil dahulu. Wajah kawan-kawan kecilku, dingin air sungai yang bening, ikan gabus-gabus tua, dan terngiang jelas bagaimana cipratan air sungai ketika aku terjun bebas dari pohon tinggi di sekitar sungai. Aku sering melakukan penetrasi luar biasa saat berenang di sungai itu. Menenggelamkan diri dengan kepala berada di dasar sungai dan kaki menjulang ke atas, dalam posisi tubuh tegak lurus dan mencoba bertahan dari arus. Aku dapat melihat jelas ikan gabus-gabus tua dari dasar sungai. Mereka menatapku, berenang di hadapan wajahku, aku selalu tersenyum melihat mereka. Aku bisa melakukannya selama empat menit. Kawan-kawanku selalu terkagum setiap aku melakukannya.
Begitu pun setiap kami memancing di sana. Aku selalu beruntung dari mereka. Aku selalu mendapat ikan lebih besar. Aku tidak pernah tak mendapat ikan. Entah, jika sudah berada di sungai itu keberuntungan selalu membelengguku. Memancing tidak hanya mengandalkan teknik dan umpan terbaik, namun juga keberuntungan. Tetapi umpan memiliki peran cukup penting, gunakan belalang hijau yang hidup atau cacing gemuk agak kemerahan dengan setiap ujung ekor dan kepalanya mengecil dan hidup. Ayahku yang memberitahukannya. Ayah. Ayah. Ayah.
Kini aku merindukan ayahku. Ayah yang mengajariku berenang dan memancing. Ayahku lebih jenius saat berenang, tapi selalu tidak beruntung ketika memancing. Aku lebih jenius dan beruntung saat memancing, padahal ayah yang mengajariku memancing dan memberitahuku soal ‘keberuntungan’. Teringat jelas, pernah saat aku memancing bersama ayah. Aku berhasil mendapat lima ekor ikan besar dan ayahku tak mendapat satupun. Aku girang tak kepayang, dan ayah hanya memberi ucapan selamat tanpa terbata, namun aku dapat mengingat, sangat mengingat raut wajahnya yang pedih dan penuh kekalahan antara kagum dan memilukan. Raut ayahku sangat memalukan saat itu, tapi aku sangat suka wajah yang luar biasa itu.
Kenangan yang berputar dan merasuki otak juga gelora jiwaku. Aku selalu terkenang masa-masa itu. Lagi-lagi perih di kerongkonganku membuyarkan kenanganku. Kakiku terasa lembab dan gatal. Aku menyesal mengenakan sepatu kulit di cuaca seperti ini. Panas dan keringat membuat kaki terasa lembab dan gatal. Aku menyentakkan kakiku beberapa kali. Aku benar-benar sangat haus. Keringatku mulai mengering, dan keringatku habis tak tersisa. Cairan yang ada di dalam tubuhku telah habis menguap sepertinya.
Terdampar seekor kadal kecil di tengah jalan. Diam mematung seakan tak bernyawa. Dia berwarna hijau dengan sedikit corak kecokelatan. Ekornya panjang dan mengecil hingga keujungnya, lebih panjang dari tubuhnya. Kulitnya bersisik kasar, matanya besar menonjol keluar. Kulihat kaki kiri depan diangkatnya, lalu kaki kanan depannya, kemudian kedua kaki belakang berurutan diangkatnya. Sepertinya keempat kakinya melepuh panas karena dia tak memakai sepatu walau sisik di kakinya cukup tebal. Lidahnya yang melengkung spiral keluar dari mulutnya yang mengatup rapat, membasahi kedua matanya yang besar.  Ekornya sama sekali tak bergerak.
Aku menghampirinya perlahan, mencoba tak bersuara dari langkah sepatu bot kulitku yang lembab. Aku berada tepat di belakangnya, posisi titik mati penglihatannya. Aku berjongkok, memperhatikan kembali tubuhnya dan terpesona. Dengan cepat tangan kananku merengkuh tubuhnya, dan menggenggamnya erat namun tak keras agar tak melukainya. Kuperhatikan tubuh bagian bawahnya, putih halus mengkilap tanpa sisik. Kau sungguh menakjubkan, kau mampu bertahan di tengah cuaca seperti ini, kau hal terindah sepanjang perjalananku ini, hendak apa gerangan kau, kadal kecil tak berdaya, aku membatin.
Kadal itu tetap diam tak berontak dalam genggaman. Kuperhatikan seksama matanya yang sangat bulat, kelopaknya menutup dan membuka secepat yang dilakukan kelopak mataku saat berada di dalam sungai. Kuletakkan kembali dia pada jalan, keempat kakinya tersentak kaget oleh panas, aku tertawa tak bersuara melihatnya. Kuletakkan lagi dengan perlahan, dan kulepas genggamanku, seraya kadal itu dengan langkahnya yang cepat menjauh menuju lapang rerumputan kering menguning.
“Sampai jumpa,” ujarku berteriak. “semoga kau menemukan air. Dan beritahu aku jika benar menemukannya, kawan!”
Aku kembali berjalan, dan panas tetap menghujaniku. Aku mencoba memutar kembali kenangan di sungai bersama ayahku. Ayah pernah bercerita padaku, bahwa ia mendapat pelajaran cinta dan seks pertamanya di sungai itu. Aku mencoba mengingat raut wajahnya saat menceritakan itu padaku. Kerongkongan yang perih menghancurkan daya kerja otakku, wajah ayah pun buyar dalam benak.
Kenangan menjadi pondasiku bertahan di perjalanan yang menderitakan ini. Aku terus mengenang, dan menjauhi pikiran dari rasa perih dan kering di kerongkonganku. Kedua kakiku mulai melemas dan gemetar. bagaimana kabarmu, ayah? Aku membatin, apa wajahmu tetap sama dengan yang lalu? Matamu takkan berbeda, ya, aku tahu matamu tak berubah. Bagaimana kabarmu, ayah? Ada sesuatu, ada sesuatu, sesuatu yang ingin kukatakan padamu. Bagaimana kabarmu, ayah? Ada sesuatu, ada sesuatu, sesuatu yang belum kau ajarkan padaku. Bagaimana kabarmu, ayah? Di mana ia berada? Ayah, dimana ia berada? Ah percuma, maut sudah merasuki dadaku. Ayah, beginikah maut ketika merasuki dadamu? Sesakit inikah? Bagaimana kabarmu, ayah? Maut-mu itu kini merasukiku. Apa kabar, maut? Bagaimana kabar ayahku? Apa kabarmu, maut? Diam, jangan bicara denganku! Bukan, katakan, katakan saja bagaimana kabar ayahku. Diam, lalu diam, jangan berkata padaku. Bagaimana kabarmu, ayah?
Deru mobil memecah kesunyian panas. Melepas maut seketika dari dadaku. Deru dari kejauhan di belakang punggungku, mendekat, berhenti di sampingku.
Pintu bis terbuka yang berjendelakan kaca retak yang terbuka. Si kondektur mendorong pintu melebar, “Masuklah, Pak. Cepat!”
“Ah, kau sudah datang, maut!”
“Maut?” ujar si kondektur bingung.
“Ah, maaf,” ujarku tersadar. “Aku sedikit berhalusinasi tadi, ya, maaf.”
“Cepatlah masuk, Pak!”
“Ya,” Aku memasuki bis, dan di dalam terasa lebih lembab dari keadaan di luar walau tetap terasa panas. Kulihat kursi semula tempat kududuk bersama si wanita bertelinga aneh itu. Dia tertidur tak mendengkur. Si kondektur menatapku yang melihat wanita itu. Si supir menginjak pedal gas, aku sedikit terhuyung.
“Boleh aku duduk di tempat lain?” pintaku pada si kondektur.
“Ya, duduk saja di tempatku,” jawab si kondektur yang kini terpaku bingung menatap si wanita aneh yang kulihat.
“Terima kasih,”
“Ya, tapi mungkin anda akan sedikit pening duduk di sini, tak ada sandaran.”
“Tak apa, jauhkan aku dari dia, itu saja.” Si kondektur tersenyum, dan si supir tertawa dari balik kaca spion kecil di atasnya.
Bus berjalan cukup tenang, si supir kembali menyalakan rokok, dan si kondektur bersandar pada pintu, penumpang lain sibuk dengan kesibukkannya sendiri melawan lembab panas di dalam bus yang mulai membau.
“Apa yang kau lakukan di luar tadi?” si supir bertanya.
“Hanya berjalan,” jawabku.
“Kau menemukan sesuatu?” ujarnya tersenyum kecil.
“Tak ada, hanya panas dan seekor kadal kepanasan.”
“Kadal?” ujar si kondektur.
“Ya, kadal yang kepanasan.”
“Mungkin dia sudah kita lindas tadi.” Ujar si supir lagi dan menarik perseneling.
“Kadal itu bergerak cepat, Toni!” ujar si kondektur.
“Bus kita lebih cepat dari itu.”
“Tidak, kakinya yang kecil meringankan tubuhnya untuk bergerak.”
“Sejak kapan kau tahu tentang kadal?”
“Sejak aku belum mengenal dinosaurus.” Si supir tertawa, dan si kondektur melihatnya sedikit kesal kemudian ikut tertawa.
“Merokok?”
“Tidak,” jawabku. “Aku butuh air.”
“Merokoklah, Pak.” Ujar si supir. “konon merokok dapat menghilangkan haus.”
“Tahu darimana kau, Toni?” ujar si kondektur.
“Barusan, ayolah temani kami merokok, Pak.”
“Aku belum merokok,” sahut si kondektur.
“Nyalakan rokokmu sana, dan kau silahkan ikut merokok, Pak, hausmu akan hilang.”
“Ya, boleh kucoba rokokmu?”
“Dengan senang hati,”
“Rokokku habis, Toni!” ujar si kondektur.
“Pakai rokokku!” ujar si supir. “Lalu, apa yang kau temukan lagi di luar sana, Pak?”
Aku mengambil sebatang rokokknya, menyalakan dan menyesapnya, “Tak ada, hanya maut.”

Tidak ada komentar: