“Ambil dongkrak,” sahut
supir. “cepat ganti, nanti keburu gelap!”
Cuaca terlalu panas,
terlalu panas untuk berhenti di tengah jalan yang gersang sekarang. Punggungku
berkeringat, basah membekas pada bangku yang kududuki. Cuaca terlalu panas, walaupun waktu
menunjukkan telah petang. Musim panas, yeah aku tidak pernah suka musim panas.
Kubuka jendela sepenuhnya.
Sekelebat angin panas menerpa wajahku. Kulihat kondektur sedang memutar
dongkrak. Wajahnya basah oleh keringat, terlebih pakaiannya dengan kaos abu-abu
bergambar Marlyn Monroe tanpa pakaian. Handuk birunya yang dilingkari di
tengkuk pun tak luput basah. Si kondektur seperti sedang mempertaruhkan nyawa,
di tengah terik matahari.
Si supir pun keluar dari bus dan membantunya. Dia
merokok. Merokok di tengah terik matahari seperti ini. Asap tembakau menyembul
dari mulutnya, ketika menggelindingkan roda cadangan. Aku ingin merokok,
melihat si supir merokok, aku pun ingin merokok. Tidak, aku tidak perlu
merokok, yang kubutuhkan adalah air di cuaca seperti ini.
Kubuka botol air mineral yang kubeli di perhentian
sebelumnya. Kosong, tak tersisa setetes pun. Kerongkonganku makin terasa
kering, segersang aspal jalan membayang yang kupandang. Kuperhatikan sekeliling
jalan lewat jendela. Tak adakah rumah makan, tak adakah kedai minum di sekitar
sini. Kerongkonganku terlalu kering dan lapar, aku dehidrasi.
“Tak bisakah, kau tutup jendelanya?” ujar seorang wanita. “Terlalu panas untuk
membuka jendela sekarang, kau tahu?”
Kulihat wajah wanita itu. Wanita paruh baya, dengan
hidung besar, wajahnya memerah kepanasan, dan terlihat makin panas dengan apa
yang kulakukan. Aku memandangnya beberapa detik, sejak aku duduk bersebelahan
dengannya dari terminal keberangkatan, aku tidak pernah melihat wajahnya
seksama. Bibirnya agak tebal, dan telinga kirinya terlihat seperti lebih kecil
dari telinga kanannya.
“Hei, kau dengar?” ujarnya lagi kesal.
Aku menutup jendela tanpa menyahutinya. Tidak, aku tidak
menyahutinya karena kerongkonganku terlalu kering untuk bicara. Wanita ini
hanya membuatku tambah merasa haus. Kupandang lagi sekitar jalan, menghindari
wajah aneh wanita itu. Angin bertiup cukup kencang. Karena hari memang sudah
petang, tapi cuaca terlalu panas untuk disebut petang. Angin panas menerpa debu
di sekitar jalan, kulihat si kondektur dan si supir melindungi wajahnya dengan
handuk mereka.
Aku merasa haus. Kerongkonganku benar-benar kering. Aku
menyesal tidak membeli air botolan lebih, aku membatin. Kenapa aku tidak pergi
saat musim dingin saja atau musim semi juga tidak terlalu buruk, walau di
negeri ini tidak ada musim semi. Saat musim panas seperti ini, pemikiran
terbaik adalah duduk pada teras dengan segelas air jeruk perasan, ditambah tiga
sendok gula dan banyak batu es. Kemudian membaca beberapa buku, juga mendengar
musik tentang kerinduan. Atau mendengar prakiraan cuaca lewat radio, atau pun
menonton beberapa pertandingan sepak bola di TV. Tidak, saat musim panas tidak
seorang pemain pun yang mau bermain sepak bola, mereka pun berpikir yang sama
denganku. Mungkin, menonton perlombaan renang.
Renang, aku ingin berenang di musim panas seperti ini.
Berenang di sungai bening dengan arus lembut. Beradu cepat dengan ikan-ikan
gabus tua, dan sudah barang pasti aku yang menang. Aku perenang ulung, perenang
jenius. Aku rindu tempat tinggalku, aku rindu sungai kecil di sana. Semasa
kecil aku selalu berenang di sana bersama kawan-kawanku, dan memancing
gabus-gabus tua setiap musim panasnya. Aku ingin berenang, dan aku butuh air.
Kudengar wanita aneh di sebelahku mengeluh pada si supir
dan si kondektur. Kata-katanya tidak jelas,
mungkin lidahnya terlalu pendek karena kepanasan. Aku tidak suka dengan wanita
ini. Kuambil ransel yang kuetakkan di bawah bangku, seraya bangkit dari duduk.
Berjalan kesulitan melewati wanita aneh itu tanpa permisi. Wanita aneh itu
memandangku kesal, aku tak menghardik wajah anehnya.
“Mau apa kau, heh?” ujar si wanita aneh dengan mimik
wajah memerah seperti kepiting rebus.
“Menjauh darimu.” ujarku tenang, mengacuhkannya.
Aku menyusuri lorong bus yang sempit. Para penumpang lain
yang kepanasan menatapku, masing-masing dengan wajah-wajah aneh tak
berbentuknya tanpa berkata. Aku menuruni bus. Cuaca lebih panas menyengat di luar.
Kulit seperti terbakar, kepalaku pening seketika. Si supir dan si konduktor
yang tetap sibuk teralihkan perhatiannya.
Si supir masih dengan rokoknya bertanya, “Mau kemana,
Pak?”
“Mencari kedai minum,” jawabku menyipitkan mata
menatapnya. “aku berjalan kaki saja.”
“Sudah hampir selesai, kok.” Ujar si kondektur.
“Masuklah, di luar sangat panas.” Ujar si supir
menambahkan.
“Tidak, terima kasih,” sahutku. “tujuanku sudah dekat.”
Aku tahu aku berbohong pada mereka. Tempat tujuanku masih
sangat jauh. Jalan ini hanya jalan kosong, gersang, dan beberapa kilometer panjang lagi. Dan mereka tahu aku
bohong, mungkin bodoh.
Aku berjalan meninggalkan mereka, menjauhi bus. Sejenak
kulihat balik si supir dan si kondektur tetap memandang
kepergianku. Tidak begitu jelas wajah mereka, panas di luar menyebabkan aku
tidak bisa melihat dengan jelas, terlalu silau dan panas. Mereka dan bus
perlahan menghilang dari pandangan. Di luar benar-benar sangat panas. Kepalaku
pening, jaket yang kukenakan pun tak berdaya melindungi kulit. Uap panas dalam
jaket membakar kulitku. Keringat basah deras keluar di sekujur pori-pori wajah
dan tubuh.
Aku berjalan terus. Aspal jalan begitu kering, di bagian
tengahnya terdapat retakkan, memanjang ke depan. Jalan ini benar-benar sangat
gersang. Di setiap sisi jalan hanya ada lapang rerumputan kering berpasir cokelat kekuningan. Rumput telah kering menguning,
tak ada pepohonan. Bahkan tak kendaraan satu pun yang lewat selain bus yang berhenti.
Hanya terasa tiupan angin panas menerpa wajahku yang membawa pasir-pasir
kering.
Kerongkonganku kini menjadi perih. Aku sangat haus, dan
kepala sangat pening. Sejenak kuhentikan langkah, mencoba menjernihkan pikiran
dan mengatur alur napas. Kemudian berjalan kembali. Lagi-lagi pikiranku memutar
kenangan di sungai sewaktu kecil dahulu. Wajah kawan-kawan kecilku, dingin air
sungai yang bening, ikan gabus-gabus tua, dan terngiang jelas bagaimana
cipratan air sungai ketika aku terjun bebas dari pohon tinggi di sekitar
sungai. Aku sering melakukan penetrasi luar biasa saat berenang di sungai itu.
Menenggelamkan diri dengan kepala berada di dasar sungai dan kaki menjulang ke
atas, dalam posisi tubuh tegak lurus dan mencoba bertahan dari arus. Aku dapat
melihat jelas ikan gabus-gabus tua dari dasar sungai. Mereka menatapku,
berenang di hadapan wajahku, aku selalu tersenyum melihat mereka. Aku bisa
melakukannya selama empat menit. Kawan-kawanku selalu terkagum setiap aku
melakukannya.
Begitu pun setiap kami memancing di
sana. Aku selalu beruntung dari mereka. Aku selalu mendapat ikan lebih besar.
Aku tidak pernah tak mendapat ikan. Entah, jika sudah berada di sungai itu
keberuntungan selalu membelengguku. Memancing tidak hanya mengandalkan teknik
dan umpan terbaik, namun juga keberuntungan. Tetapi umpan memiliki peran cukup
penting, gunakan belalang hijau yang hidup atau cacing gemuk agak kemerahan
dengan setiap ujung ekor dan kepalanya mengecil dan hidup. Ayahku yang
memberitahukannya. Ayah. Ayah. Ayah.
Kini aku merindukan ayahku. Ayah yang mengajariku
berenang dan memancing. Ayahku lebih jenius saat berenang, tapi selalu tidak
beruntung ketika memancing. Aku lebih jenius dan beruntung saat memancing,
padahal ayah yang mengajariku memancing dan memberitahuku soal ‘keberuntungan’.
Teringat jelas, pernah saat aku memancing bersama ayah. Aku berhasil mendapat
lima ekor ikan besar dan ayahku tak mendapat satupun. Aku girang tak kepayang,
dan ayah hanya memberi ucapan selamat tanpa terbata, namun aku dapat mengingat,
sangat mengingat raut wajahnya yang pedih dan penuh kekalahan antara kagum dan
memilukan. Raut ayahku sangat memalukan saat itu, tapi aku sangat suka wajah
yang luar biasa itu.
Kenangan yang berputar dan merasuki otak juga gelora
jiwaku. Aku selalu terkenang masa-masa itu. Lagi-lagi perih di kerongkonganku
membuyarkan kenanganku. Kakiku terasa lembab dan gatal. Aku menyesal mengenakan
sepatu kulit di cuaca seperti ini. Panas dan keringat membuat kaki terasa
lembab dan gatal. Aku menyentakkan kakiku beberapa kali. Aku benar-benar sangat
haus. Keringatku mulai mengering, dan keringatku habis tak tersisa. Cairan yang
ada di dalam tubuhku telah habis menguap sepertinya.
Terdampar seekor kadal kecil di tengah jalan. Diam
mematung seakan tak bernyawa. Dia berwarna hijau dengan sedikit corak
kecokelatan. Ekornya panjang dan mengecil hingga keujungnya, lebih panjang dari
tubuhnya. Kulitnya bersisik kasar, matanya besar menonjol keluar. Kulihat kaki
kiri depan diangkatnya, lalu kaki kanan depannya, kemudian kedua kaki belakang
berurutan diangkatnya. Sepertinya keempat kakinya melepuh panas karena dia tak
memakai sepatu walau sisik di kakinya cukup tebal. Lidahnya yang melengkung
spiral keluar dari mulutnya yang mengatup rapat, membasahi kedua matanya yang
besar. Ekornya sama sekali tak bergerak.
Aku menghampirinya perlahan, mencoba tak bersuara dari
langkah sepatu bot kulitku yang lembab. Aku berada tepat di belakangnya, posisi
titik mati penglihatannya. Aku berjongkok, memperhatikan kembali tubuhnya dan
terpesona. Dengan cepat tangan kananku merengkuh tubuhnya, dan menggenggamnya
erat namun tak keras agar tak melukainya. Kuperhatikan tubuh bagian bawahnya,
putih halus mengkilap tanpa sisik. Kau sungguh menakjubkan, kau mampu bertahan
di tengah cuaca seperti ini, kau hal terindah sepanjang perjalananku ini,
hendak apa gerangan kau, kadal kecil tak berdaya, aku membatin.
Kadal itu tetap diam tak berontak dalam genggaman.
Kuperhatikan seksama matanya yang sangat bulat, kelopaknya menutup dan membuka
secepat yang dilakukan kelopak mataku saat berada di dalam sungai. Kuletakkan
kembali dia pada jalan, keempat kakinya tersentak kaget oleh panas, aku tertawa
tak bersuara melihatnya. Kuletakkan lagi dengan perlahan, dan kulepas
genggamanku, seraya kadal itu dengan langkahnya yang cepat menjauh menuju
lapang rerumputan kering menguning.
“Sampai jumpa,” ujarku berteriak. “semoga kau menemukan
air. Dan beritahu aku jika benar menemukannya, kawan!”
Aku kembali berjalan, dan panas tetap menghujaniku. Aku
mencoba memutar kembali kenangan di sungai bersama ayahku. Ayah pernah
bercerita padaku, bahwa ia mendapat pelajaran cinta dan seks pertamanya di
sungai itu. Aku mencoba mengingat raut wajahnya saat menceritakan itu padaku.
Kerongkongan yang perih menghancurkan daya kerja otakku, wajah ayah pun buyar
dalam benak.
Kenangan menjadi pondasiku bertahan di perjalanan yang
menderitakan ini. Aku terus mengenang, dan menjauhi pikiran dari rasa perih dan
kering di kerongkonganku. Kedua kakiku mulai melemas dan gemetar. bagaimana
kabarmu, ayah? Aku membatin, apa wajahmu tetap sama dengan yang lalu? Matamu
takkan berbeda, ya, aku tahu matamu tak berubah. Bagaimana kabarmu, ayah? Ada
sesuatu, ada sesuatu, sesuatu yang ingin kukatakan padamu. Bagaimana kabarmu,
ayah? Ada sesuatu, ada sesuatu, sesuatu yang belum kau ajarkan padaku. Bagaimana kabarmu, ayah? Di mana ia berada?
Ayah, dimana ia berada? Ah percuma, maut sudah merasuki dadaku. Ayah, beginikah
maut ketika merasuki dadamu? Sesakit inikah? Bagaimana kabarmu, ayah? Maut-mu
itu kini merasukiku. Apa kabar, maut? Bagaimana kabar ayahku? Apa kabarmu,
maut? Diam, jangan bicara denganku! Bukan, katakan, katakan saja bagaimana
kabar ayahku. Diam, lalu diam, jangan berkata padaku. Bagaimana kabarmu, ayah?
Deru mobil memecah kesunyian panas. Melepas maut seketika
dari dadaku. Deru dari kejauhan di belakang punggungku, mendekat, berhenti di
sampingku.
Pintu bis
terbuka yang berjendelakan kaca retak yang terbuka. Si kondektur mendorong
pintu melebar, “Masuklah, Pak. Cepat!”
“Ah, kau
sudah datang, maut!”
“Maut?”
ujar si kondektur bingung.
“Ah, maaf,”
ujarku tersadar. “Aku sedikit berhalusinasi tadi, ya, maaf.”
“Cepatlah
masuk, Pak!”
“Ya,” Aku
memasuki bis, dan di dalam terasa lebih lembab dari keadaan di luar walau tetap
terasa panas. Kulihat kursi semula tempat kududuk bersama si wanita bertelinga
aneh itu. Dia tertidur tak mendengkur. Si kondektur menatapku yang melihat
wanita itu. Si supir menginjak pedal gas, aku sedikit terhuyung.
“Boleh aku
duduk di tempat lain?” pintaku pada si kondektur.
“Ya, duduk
saja di tempatku,” jawab si kondektur yang kini terpaku bingung menatap si wanita
aneh yang kulihat.
“Terima
kasih,”
“Ya, tapi
mungkin anda akan sedikit pening duduk di sini, tak ada sandaran.”
“Tak apa,
jauhkan aku dari dia, itu saja.” Si kondektur tersenyum, dan si supir tertawa
dari balik kaca spion kecil di atasnya.
Bus berjalan
cukup tenang, si supir kembali menyalakan rokok, dan si kondektur bersandar
pada pintu, penumpang lain sibuk dengan kesibukkannya sendiri melawan lembab
panas di dalam bus yang mulai membau.
“Apa yang
kau lakukan di luar tadi?” si supir bertanya.
“Hanya berjalan,”
jawabku.
“Kau
menemukan sesuatu?” ujarnya tersenyum kecil.
“Tak ada,
hanya panas dan seekor kadal kepanasan.”
“Kadal?”
ujar si kondektur.
“Ya, kadal
yang kepanasan.”
“Mungkin
dia sudah kita lindas tadi.” Ujar si supir lagi dan menarik perseneling.
“Kadal itu
bergerak cepat, Toni!” ujar si kondektur.
“Bus kita
lebih cepat dari itu.”
“Tidak,
kakinya yang kecil meringankan tubuhnya untuk bergerak.”
“Sejak
kapan kau tahu tentang kadal?”
“Sejak aku
belum mengenal dinosaurus.” Si supir tertawa, dan si kondektur melihatnya
sedikit kesal kemudian ikut tertawa.
“Merokok?”
“Tidak,”
jawabku. “Aku butuh air.”
“Merokoklah,
Pak.” Ujar si supir. “konon merokok dapat menghilangkan haus.”
“Tahu
darimana kau, Toni?” ujar si kondektur.
“Barusan,
ayolah temani kami merokok, Pak.”
“Aku belum
merokok,” sahut si kondektur.
“Nyalakan
rokokmu sana, dan kau silahkan ikut merokok, Pak, hausmu akan hilang.”
“Ya, boleh
kucoba rokokmu?”
“Dengan
senang hati,”
“Rokokku
habis, Toni!” ujar si kondektur.
“Pakai
rokokku!” ujar si supir. “Lalu, apa yang kau temukan lagi di luar sana, Pak?”
Aku mengambil
sebatang rokokknya, menyalakan dan menyesapnya, “Tak ada, hanya maut.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar