12 Apr 2012

Danau Yang Terlampau Sepi



Pagi ini terlalu dingin untuk berjalan dengan bertelanjang kaki. Terlebih hujan mengguyur tak deras semalaman dan angin bertiup keras. Sardi, si pemuda canggung yang tak mau mengingat usianya, berjalan membopong joran dari bambu hijau yang lentur dan mulai menguning. Benang pancing menjulur dari ujung bambu yang di ujungnya terikat kail kecil, yang cukup kuat untuk mengait paus. Ayahnya pernah berkata, “Ayah pernah mendapat penyu tua besar tapi terlalu muda untuk disebut tua, di danau. Penyu itu bermata kelam, dan jelas keriput di sekitar kulitnya menggambarkan betapa bodohnya dia mengarungi danau. Ayah pernah mendapatkannya dengan joran ini.”
Jelas di benak Sardi ketika mendengarnya, bahwa Ayahnya luar biasa. Saat itu dia berusia 10 tahun, bocah tolol yang dibohongi oleh dongeng Sang Ayah, yang bahkan dongeng yang tak pernah didengarnya ketika dininabobokan oleh Ibunya. Tapi sekarang ketika mengingatnya, dia merasa tidak ingin mengingatnya. Membuatnya mual, rasa yang naik hingga ke dalam otak dan membuatnya ingin menikah dan menceritakan hal yang sama pada anaknya kelak. Dia ingin memiliki seorang putra, dan sama bodohnya dengan dirinya. Baginya orang bodoh adalah manusia luar biasa, sama seperti Sang Ayah. Bodoh adalah cita-cita.
Sardi menyusuri hutan yang basah. Ibu jari kakinya menonjol keluar dari balik lumpur yang menyelimuti kakinya. Dia berjalan cepat melewati rawa-rawa kering yang mulai basah. Dia senang hujan turun di hutan ini. Singa-singa pasti meringkuk beku kedinginan, beruang-beruang tak berotak sibuk menguliti pepohonan pinus dan dicampuri pada secangkir tehnya, sementara ayam-ayam hutan tertawa mengejek mereka.
Kembali dia teringat di otak yang seharusnya tak bekerja untuk memutar kenangan dalam perjalanannya. Sedikit jengkel, tetapi tak berdaya. Entah kapan terjadi, dia tak ingat yang sebenarnya dia ingat. Dia berjalan menyusuri hutan ini bersama Si Cantik Tuli. Dia menganggapnya sebuah kencan, tapi Si Cantik Tuli menganggapnya hanya jalan-jalan bodoh. Menyusuri rawa-rawa yang saat itu musim dingin. Melompati batang tubuh pohon yang roboh, memetik buah berry, yang mereka sebut Simalakama. Berduduk santai di tepi danau. Danau dengan air hijau tenang tak berarus. Sardi mencoba terlentang santai disebelah Si Cantik Tuli. Agak sulit, sangat sulit untuk mencoba santai ketika kita bersama seseorang yang kita cintai, dan selalu memaksa untuk dibawa ke dalam mimpi, terlebih di tepi danau yang sepi, pikir Sardi.
“Sepi ya,” ujar Si Cantik Tuli.
“Ya, sangat sepi,” ujar Sardi.
“Tuhan sangat hebat,” kagum Si Cantik Tuli. “Mungkin Tuhan telah menumpahkan air matanya ke hutan ini, dan menjadi danau ini. Danau ini sangat sepi.”
“Terlalu sepi,” ujar Sardi.
“Sardi, kau terlalu buta untuk merendahkanNya.”

“Tidak, aku tidak merendahkanNya. Apa kau tidak melihat garis bibirku yang melebar ketika aku mengatakannya, Karmah?”

“Tidak, aku terlalu sibuk mengagumi danau ini dan juga Tuhan.”
“Kau hebat menyingkir. Kau memang hebat menyakitiku.”
Karmah menengok. Menatap Sardi yang terlentang memandangi awan-awan putih yang berarak-arakkan. Dirinya seperti menganggap Sardi lelaki bodoh yang menganggap Tuhan sama bodoh seperti dia. Tapi Karmah dapat melihat pada matanya, bahwa Sardi mengagumi segala yang diciptakan Tuhan, hanya tidak ingin diujarkan.
“Kau menyakitiku, Sardi.” Ujar Karmah.
“Kau perasa,” ujar Sardi. “Mungkin karena itu kau tidak pernah setuju atau mengakui perkataanku. Kau lebih menyukai kata-kata sampah Si Amerika sial itu. Dia mencoba ingin sepertiku, bersyair, tapi terlihat tolol.”
“Jack, tidak tolol. Dan kau bukan penyair.”
“Yeah, Si Amerika yang mencoba berkoloni dengan orang-orang Belanda itu. Dan tidak hanya mencuri dan menjajah di tanah ini, tapi merengkuh segala keberuntungan dan cintaku. Dan ingatlah aku ini penyair, Karmah.”
“Jack bukan pengkhianat,” ujar Karmah kesal. “Dia turis yang sedang mencari cinta, dan aku tak kan pernah ingat kau adalah penyair.”
“Si Turis Amerika yang mencuri cintaku, yeah.”
“Aku tak pernah tahu kau mencintaiku.”
“Yeah, kau tahu. Dan kau sudah tahu, sejak kau lahir kau sudah tahu.”
“Kau ini gila!”
“Yeah, juga lelaki gila yang disungkurkan oleh ludah wanita yang dicintainya.”
“Aku benci kau!” ujar Karmah bergetar.
“Tapi tahu kalau aku mencintaimu.” Ujar Sardi meneruskan.
“Apa seperti ini cara penyair menyatakan cinta?” ujar Karmah. “Menyedihkan, eh.”
“Mungkin,” ujar Sardi. “Hanya penyair sepertiku yang melakukannya, yang lain hanya orang-orang tolol yang mencoba menjadi penyair dan menyatakan cinta dengan sampah-sampah bau, tak berguna, seperti Si Turis Amerika.”
“Apa pernyataan kau itu berhasil?”
“Berhasil, pasti berhasil. Karena kau tahu aku mencintaimu.”
“Maaf, Sardi,” ujar Karmah merasa iba. “Kau lebih payah dari orang-orang yang kau lecehkan.”
“Yeah, si gila yang payah. Tapi kau tahu aku mencintaimu.”
“Kau lebih bau dari sampah-sampah mereka, Sardi.”
Sardi tetap diam dalam terlentangnya. Awan-awan mulai bergerak cepat. Seakan menghindar dari percakapan mereka. Sardi melongok ke arah kiri, tempat bertenggernya dua burung nuri yang saling menciumi sayapnya masing-masing. Dia teringat hal apa yang dikatakan Ayahnya saat itu, “Lelaki itu seperti garuda jantan, nak. Tangguh, mampu membunuh singa. Namun rapuh jika nyalinya dibunuh oleh wanita yang mengatakan, ‘kau tak lebih baik dari dia.’ Itu mengapa garuda begitu luar biasa, dan juga lelaki yang lumpuh nyalinya.”
Lagi-lagi dia menganggap Ayahnya sangat luar biasa saat itu. Namun, setelah mendengar perkataan Karmah, dia masih menganggap Ayahnya luar biasa. Tetap saja dia tidak pernah mengerti maksud yang dikatakan Ayahnya itu, semua yang dikatakannya sebelum dan setelahnya.
Dia bertanya-tanya, mengapa Ibunya bisa menikahi Ayahnya? Ayahnya tak lebih dari orang gila yang mencoba membodohi putranya yang dengan polos mengaguminya. Karmah sangat berbeda dengan Ibunya. Karmah tak pernah menelan segala perkataannya atau segala yang diujarkan, dan dikagumi atau dibencinya. Sementara Ibunya selalu tersenyum penuh cinta tanpa pilu, mendengar celotehan tolol Ayahnya yang sangat ditiru olehnya. itu mengapa dia menjuluki Karmah Si Cantik Tuli.
“Aku pernah melihat burung garuda jantan di hutan ini.” Ujar Sardi.
“Tak ada yang namanya burung garuda, terlebih jantan.” Ujar Karmah.
“Aku berkata yang sesungguhnya, Karmah cintaku.”
“Kau berkata kebohongan yang sesungguhnya, dan aku bukan cintamu.”
“Tak usah kau katakan, aku sudah tahu yang akan kau katakan.”
“Syukurlah, kau paham.”
“Tapi aku benar, aku melihat garuda jantan.”
“Baiklah, anggap aku percaya padamu,’ ujar Karmah. “Di mana kau melihatnya?”
“Di udara,” jawab Sardi. “Aku melihatnya lewat bayangan dari pantulan di perairan danau ini.”
“Kau tidak melihatnya langsung.”
“Aku melihatnya langsung. Matanya berbinar bodoh, berbibir tebal sepertiku.”
“Paruh, yang kau maksud.”
“Tidak, itu bibir. Aku yang melihatnya. Dan tolong jangan menyela perkataanku.”
“Terserah,” kata Karmah acuh. “Dan aku izin untuk pergi sekarang.”
“Mau kemana kau, cintaku?”
“Aku ada janji dengan Jack.”
“Kau ingin kencan dengannya di musim dingin seperti ini?”
“Bukan, aku punya utang janji padanya. Jika kau gagal mendapat ikan besar saat memancing kemarin, aku akan ditidurinya.”
“Apa bedanya?”
“Berbeda, penyair bodoh.”
“Aku tidak melihat perbedaan.”
“Aku hanya tidur dengannya. Tapi aku selalu berharap dapat berduaan denganmu di danau yang terlampau sepi ini.”
“Yeah, pergilah.”
“Kau tidak mencegahku?”
“Tak usah.”
“Baiklah aku pergi. Dan kuharap, kau kali ini mendapat ikan besar.”
“Itu bukan doa.”
“Yeah, memang bukan. Tapi ini impian. Selamat tinggal.”
Karmah berjalan lembut meninggalkannya. Si Penyair melihatnya, gemulai melewati lumpur di antara rawa-rawa. Dia sangat menyukai betis wanita ini, walau berdada kecil. Parasnya secantik burung phoenix yang juga pernah dia akui melihat di hutan ini padanya. Dia bangkit dari terlentangnya. Menatap joran bambunya yang melengkung dahsyat, dan tertarik. Dia menahan jorannya sekuat tenaga, dan balas menarik dengan mengangkatnya tinggi-tinggi ke arah langit yang membiru terang.
Dia bersemangat dan tak berkeringat. Bertempur dengan wajah berbinar dan mata yang berkilat-kilat. Bibir tebalnya membiru, dahinya berkerut. Dasar perutnya panas, dan dia sadar ini adalah perasaan semangat untuk menjadi pemenang. Penyair yang berharap jadi pemenang dari ikan besar yang terkait di ujung kailnya. Jantungnya berdegup kencang, memompa darah panasnya menuju otak yang membuatnya berpikir untuk berteriak keras-keras.
“Impianmu terkabul sepertinya, Karmah!” jeritnya tersenyum. “Dan sepertinya kau akan menjadi pecundang hei Si Turis Amerika sial. Nikmati cintaku selagi kau bisa. Karena dia akan menjadi syair-syair menakjubkanku nantinya. Oh, sayangku Karmah. Dan Ayah, lihat ini, aku akan menjadi lelaki bodoh dari yang paling terbodoh yang beruntung sepertimu!”
Dia mengatakannya dengan sangat cepat, namun dapat didengar jelas oleh burung garuda dan phoenix yang bertengger di pohon khayalnya. Dan terangkatlah ikan gabus besar yang terlihat tua di udara dan mengibaskan ekornya penuh kesakitan.
Sardi terus berjalan menelusuri rawa-rawa yang berlumpur dingin. Dia bisa merasakan kegetiran hatinya di lembab hutan ini. Dia menenteng ember kecil di lengan kirinya. Melewati semak-semak dan pepohonan yang basah oleh embun.
Dia merasa segar pagi ini. Sangat segar untuk memancing di danau. Bayang-bayang kenangan tadi masih saja terus melintas di benaknya. Terus memutar ulang dan tak berhenti. Dan terus terbayang wajah Ayahnya yang semangat mencelotehkan pengalaman-pengalaman tololnya yang dia anggap bodoh itu. Bahkan kini dia menjadi rindu padanya. Keriput tuanya yang makin menua setiap menceritakan kisah-kisahnya. Mulut yang bau tembakau, dan lengan kekarnya.
Kini dia mengerti, penyu tua yang terlalu muda untuk dikatakan tua, yang diceritakan ayahnya sebenarnya adalah diri ayahnya sendiri. Garuda rapuh yang lumpuh nyalinya pun juga menggambarkan dirinya sendiri.
Sesampainya Sardi di danau. Dia berjongkok di tepian. Mengambil seekor cacing hidup yang menggeliat dari ember kecil yang dibawanya. Kemudian meraih ujung benang dari joran bambu peninggalan Sang Ayah, dan menusukkan entah kepala atau ekor cacing itu, pada kailnya. Dia tak pernah tahu, yang mana kepala dan yang mana ekor cacing itu sebenarnya? Ayahnya yang bodoh pun tak pernah tahu. Hanya orang pintar yang mencari tahu itu, dan itu tak penting, pikirnya. Dia hanya berharap pada cacing malang ini dapat membawa keberuntungan, membodohi gabus-gabus tua yang tak pandai berenang di danau sepi ini.

Tidak ada komentar: