Pagi ini terlalu dingin untuk berjalan dengan
bertelanjang kaki. Terlebih hujan mengguyur tak deras semalaman dan angin
bertiup keras. Sardi, si pemuda canggung yang tak mau mengingat usianya,
berjalan membopong joran dari bambu hijau yang lentur dan mulai menguning. Benang pancing
menjulur dari ujung bambu yang di ujungnya terikat kail kecil, yang cukup kuat
untuk mengait paus. Ayahnya pernah berkata, “Ayah pernah mendapat penyu tua
besar tapi terlalu muda untuk disebut tua, di danau. Penyu itu bermata kelam,
dan jelas keriput di sekitar kulitnya menggambarkan betapa bodohnya dia
mengarungi danau. Ayah pernah mendapatkannya dengan joran ini.”
Jelas di benak Sardi
ketika mendengarnya, bahwa Ayahnya luar biasa. Saat itu dia berusia 10 tahun,
bocah tolol yang dibohongi oleh dongeng Sang Ayah, yang bahkan dongeng yang tak
pernah didengarnya ketika dininabobokan oleh Ibunya. Tapi sekarang ketika
mengingatnya, dia merasa tidak ingin mengingatnya. Membuatnya mual, rasa yang
naik hingga ke dalam otak dan membuatnya ingin menikah dan menceritakan hal
yang sama pada anaknya kelak. Dia ingin memiliki seorang putra, dan sama
bodohnya dengan dirinya. Baginya orang bodoh adalah manusia luar biasa, sama
seperti Sang Ayah. Bodoh adalah cita-cita.
Sardi menyusuri hutan
yang basah. Ibu jari kakinya menonjol keluar dari balik lumpur yang menyelimuti
kakinya. Dia berjalan cepat melewati rawa-rawa kering yang mulai basah. Dia
senang hujan turun di hutan ini. Singa-singa pasti meringkuk beku kedinginan,
beruang-beruang tak berotak sibuk menguliti pepohonan pinus dan dicampuri pada
secangkir tehnya, sementara ayam-ayam hutan tertawa mengejek mereka.
Kembali dia teringat di
otak yang seharusnya tak bekerja untuk memutar kenangan dalam perjalanannya.
Sedikit jengkel, tetapi tak berdaya. Entah kapan terjadi, dia tak ingat yang
sebenarnya dia ingat. Dia berjalan menyusuri hutan ini bersama Si Cantik Tuli.
Dia menganggapnya sebuah kencan, tapi Si Cantik Tuli menganggapnya hanya
jalan-jalan bodoh. Menyusuri rawa-rawa yang saat itu musim dingin. Melompati
batang tubuh pohon yang roboh, memetik buah berry, yang mereka sebut
Simalakama. Berduduk santai di tepi danau. Danau dengan air hijau tenang tak
berarus. Sardi mencoba terlentang santai disebelah Si Cantik Tuli. Agak sulit,
sangat sulit untuk mencoba santai ketika kita bersama seseorang yang kita
cintai, dan selalu memaksa untuk dibawa ke dalam mimpi, terlebih di tepi danau
yang sepi, pikir Sardi.
“Sepi ya,” ujar Si Cantik
Tuli.
“Ya, sangat sepi,” ujar
Sardi.
“Tuhan sangat hebat,”
kagum Si Cantik Tuli. “Mungkin Tuhan telah menumpahkan air matanya ke hutan
ini, dan menjadi danau ini. Danau ini sangat sepi.”
“Terlalu sepi,” ujar
Sardi.
“Sardi, kau terlalu buta
untuk merendahkanNya.”
“Tidak, aku tidak merendahkanNya. Apa kau tidak melihat garis bibirku yang melebar ketika aku mengatakannya, Karmah?”
“Tidak, aku terlalu sibuk
mengagumi danau ini dan juga Tuhan.”
“Kau hebat menyingkir.
Kau memang hebat menyakitiku.”
Karmah menengok. Menatap
Sardi yang terlentang memandangi awan-awan putih yang berarak-arakkan. Dirinya
seperti menganggap Sardi lelaki bodoh yang menganggap Tuhan sama bodoh seperti
dia. Tapi Karmah dapat melihat pada matanya, bahwa Sardi mengagumi segala yang
diciptakan Tuhan, hanya tidak ingin diujarkan.
“Kau menyakitiku, Sardi.”
Ujar Karmah.
“Kau perasa,” ujar Sardi.
“Mungkin karena itu kau tidak pernah setuju atau mengakui perkataanku. Kau
lebih menyukai kata-kata sampah Si Amerika sial itu. Dia mencoba ingin
sepertiku, bersyair, tapi terlihat tolol.”
“Jack, tidak tolol. Dan
kau bukan penyair.”
“Yeah, Si Amerika yang
mencoba berkoloni dengan orang-orang Belanda itu. Dan tidak hanya mencuri dan
menjajah di tanah ini, tapi merengkuh segala keberuntungan dan cintaku. Dan
ingatlah aku ini penyair, Karmah.”
“Jack bukan pengkhianat,”
ujar Karmah kesal. “Dia turis yang sedang mencari cinta, dan aku tak kan pernah
ingat kau adalah penyair.”
“Si Turis Amerika yang
mencuri cintaku, yeah.”
“Aku tak pernah tahu kau
mencintaiku.”
“Yeah, kau tahu. Dan kau
sudah tahu, sejak kau lahir kau sudah tahu.”
“Kau ini gila!”
“Yeah, juga lelaki gila
yang disungkurkan oleh ludah wanita yang dicintainya.”
“Aku benci kau!” ujar
Karmah bergetar.
“Tapi tahu kalau aku
mencintaimu.” Ujar Sardi meneruskan.
“Apa seperti ini cara
penyair menyatakan cinta?” ujar Karmah. “Menyedihkan, eh.”
“Mungkin,” ujar Sardi.
“Hanya penyair sepertiku yang melakukannya, yang lain hanya orang-orang tolol
yang mencoba menjadi penyair dan menyatakan cinta dengan sampah-sampah bau, tak
berguna, seperti Si Turis Amerika.”
“Apa pernyataan kau itu
berhasil?”
“Berhasil, pasti
berhasil. Karena kau tahu aku mencintaimu.”
“Maaf, Sardi,” ujar
Karmah merasa iba. “Kau lebih payah dari orang-orang yang kau lecehkan.”
“Yeah, si gila yang
payah. Tapi kau tahu aku mencintaimu.”
“Kau lebih bau dari
sampah-sampah mereka, Sardi.”
Sardi tetap diam dalam
terlentangnya. Awan-awan mulai bergerak cepat. Seakan menghindar dari
percakapan mereka. Sardi melongok ke arah kiri, tempat bertenggernya dua burung
nuri yang saling menciumi sayapnya masing-masing. Dia teringat hal apa yang
dikatakan Ayahnya saat itu, “Lelaki itu seperti garuda jantan, nak. Tangguh,
mampu membunuh singa. Namun rapuh jika nyalinya dibunuh oleh wanita yang
mengatakan, ‘kau tak lebih baik dari dia.’ Itu mengapa garuda begitu luar
biasa, dan juga lelaki yang lumpuh nyalinya.”
Lagi-lagi dia menganggap
Ayahnya sangat luar biasa saat itu. Namun, setelah mendengar perkataan Karmah,
dia masih menganggap Ayahnya luar biasa. Tetap saja dia tidak pernah mengerti
maksud yang dikatakan Ayahnya itu, semua yang dikatakannya sebelum dan setelahnya.
Dia bertanya-tanya,
mengapa Ibunya bisa menikahi Ayahnya? Ayahnya tak lebih dari orang gila yang
mencoba membodohi putranya yang dengan polos mengaguminya. Karmah sangat
berbeda dengan Ibunya. Karmah tak pernah menelan segala perkataannya atau
segala yang diujarkan, dan dikagumi atau dibencinya. Sementara Ibunya selalu
tersenyum penuh cinta tanpa pilu, mendengar celotehan tolol Ayahnya yang sangat
ditiru olehnya. itu mengapa dia menjuluki Karmah Si Cantik Tuli.
“Aku pernah melihat
burung garuda jantan di hutan ini.” Ujar Sardi.
“Tak ada yang namanya
burung garuda, terlebih jantan.” Ujar Karmah.
“Aku berkata yang
sesungguhnya, Karmah cintaku.”
“Kau berkata kebohongan
yang sesungguhnya, dan aku bukan cintamu.”
“Tak usah kau katakan,
aku sudah tahu yang akan kau katakan.”
“Syukurlah, kau paham.”
“Tapi aku benar, aku
melihat garuda jantan.”
“Baiklah, anggap aku
percaya padamu,’ ujar Karmah. “Di mana kau melihatnya?”
“Di udara,” jawab Sardi.
“Aku melihatnya lewat bayangan dari pantulan di perairan danau ini.”
“Kau tidak melihatnya
langsung.”
“Aku melihatnya langsung.
Matanya berbinar bodoh, berbibir tebal sepertiku.”
“Paruh, yang kau maksud.”
“Tidak, itu bibir. Aku
yang melihatnya. Dan tolong jangan menyela perkataanku.”
“Terserah,” kata Karmah
acuh. “Dan aku izin untuk pergi sekarang.”
“Mau kemana kau,
cintaku?”
“Aku ada janji dengan
Jack.”
“Kau ingin kencan
dengannya di musim dingin seperti ini?”
“Bukan, aku punya utang
janji padanya. Jika kau gagal mendapat ikan besar saat memancing kemarin, aku
akan ditidurinya.”
“Apa bedanya?”
“Berbeda, penyair bodoh.”
“Aku tidak melihat
perbedaan.”
“Aku hanya tidur
dengannya. Tapi aku selalu berharap dapat berduaan denganmu di danau yang
terlampau sepi ini.”
“Yeah, pergilah.”
“Kau tidak mencegahku?”
“Tak usah.”
“Baiklah aku pergi. Dan
kuharap, kau kali ini mendapat ikan besar.”
“Itu bukan doa.”
“Yeah, memang bukan. Tapi
ini impian. Selamat tinggal.”
Karmah berjalan lembut
meninggalkannya. Si Penyair melihatnya, gemulai melewati lumpur di antara
rawa-rawa. Dia sangat menyukai betis wanita ini, walau berdada kecil. Parasnya
secantik burung phoenix yang juga pernah dia akui melihat di hutan ini padanya.
Dia bangkit dari terlentangnya. Menatap joran bambunya yang melengkung dahsyat,
dan tertarik. Dia menahan jorannya sekuat tenaga, dan balas menarik dengan
mengangkatnya tinggi-tinggi ke arah langit yang membiru terang.
Dia bersemangat dan tak
berkeringat. Bertempur dengan wajah berbinar dan mata yang berkilat-kilat.
Bibir tebalnya membiru, dahinya berkerut. Dasar perutnya panas, dan dia sadar
ini adalah perasaan semangat untuk menjadi pemenang. Penyair yang berharap jadi
pemenang dari ikan besar yang terkait di ujung kailnya. Jantungnya berdegup
kencang, memompa darah panasnya menuju otak yang membuatnya berpikir untuk
berteriak keras-keras.
“Impianmu terkabul
sepertinya, Karmah!” jeritnya tersenyum. “Dan sepertinya kau akan menjadi
pecundang hei Si Turis Amerika sial. Nikmati cintaku selagi kau bisa. Karena
dia akan menjadi syair-syair menakjubkanku nantinya. Oh, sayangku Karmah. Dan
Ayah, lihat ini, aku akan menjadi lelaki bodoh dari yang paling terbodoh yang
beruntung sepertimu!”
Dia mengatakannya dengan
sangat cepat, namun dapat didengar jelas oleh burung garuda dan phoenix yang
bertengger di pohon khayalnya. Dan terangkatlah ikan gabus besar yang terlihat
tua di udara dan mengibaskan ekornya penuh kesakitan.
Sardi terus berjalan
menelusuri rawa-rawa yang berlumpur dingin. Dia bisa merasakan kegetiran
hatinya di lembab hutan ini. Dia menenteng ember kecil di lengan kirinya.
Melewati semak-semak dan pepohonan yang basah oleh embun.
Dia merasa segar pagi
ini. Sangat segar untuk memancing di danau. Bayang-bayang kenangan tadi masih
saja terus melintas di benaknya. Terus memutar ulang dan tak berhenti. Dan
terus terbayang wajah Ayahnya yang semangat mencelotehkan pengalaman-pengalaman
tololnya yang dia anggap bodoh itu. Bahkan kini dia menjadi rindu padanya. Keriput
tuanya yang makin menua setiap menceritakan kisah-kisahnya. Mulut yang bau
tembakau, dan lengan kekarnya.
Kini dia mengerti, penyu
tua yang terlalu muda untuk dikatakan tua, yang diceritakan ayahnya sebenarnya
adalah diri ayahnya sendiri. Garuda rapuh yang lumpuh nyalinya pun juga
menggambarkan dirinya sendiri.
Sesampainya Sardi di
danau. Dia berjongkok di tepian. Mengambil seekor cacing hidup yang menggeliat
dari ember kecil yang dibawanya. Kemudian meraih ujung benang dari joran bambu
peninggalan Sang Ayah, dan menusukkan entah kepala atau ekor cacing itu, pada
kailnya. Dia tak pernah tahu, yang mana kepala dan yang mana ekor cacing itu
sebenarnya? Ayahnya yang bodoh pun tak pernah tahu. Hanya orang pintar yang
mencari tahu itu, dan itu tak penting, pikirnya. Dia hanya berharap pada cacing
malang ini dapat membawa keberuntungan, membodohi gabus-gabus tua yang tak
pandai berenang di danau sepi ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar