12 Apr 2012

Lelaki

  Petang yang buta di sisi jalan bukit yang menurun sangat sunyi. Hanya angin yang bertiup kencang dan berdesau menggesek pepohonan pinus yang tumbuh menjulang dari puncak hingga kaki bukit. Seekor burung hantu bertengger pada dahan, dan terdengar seperti mengigau. Hutan begitu lembab basah, beberapa jam yang lalu hujan ringan mengguyur hingga desa yang ada di bawahnya.
   Jika menuruni bukit menuju timur akan menemukan sebuah desa tenteram dan hangat. Desa dengan sedikit penduduk manusia yang kebanyakkan sebagai petani dan peternak. Jika menuruni bukit menuju barat, akan menemukan sungai kecil. Di dekat sungai itu terdapat mata air jernih yang juga mengalir dan membaur dengan sungai yang bening keabu-abuan. Ikan-ikan air tawar sangat berlimpah di sana, dan udang-udang pun cukup gemuk. Surga untuk pemancing dan mengadu peruntungan.
   Desa terlalu sunyi, setelah hujan membasahinya. Terkecuali di salah satu pondok kecokelatan di dekat sudut ladang sawah. Lampu telah terang walau petang masih cukup terang. Di luaran teras pondok terdapat lima pasang alas kaki yang kotor oleh lumpur. Sepasang ada yang lebih kotor, alas dari karet ban kehitaman yang menggambarkan lumpur cokelat kemerahan yang menempel dan ada daun pinus tersemat di antara lumpur berasal dari bukit.
   “Sudah boleh dimakan, Nyonya Rose?” ujar seseorang dari dalam pondok. Terdapat meja dari kayu rotan tua berwarna cokelat kehitaman, memanjang di tengah ruangan. Di atasnya tersaji berbagai masakkan. Nyonya Rose nampak sibuk memotong dan mengiris ayam hutan yang dibakar dengan kecap manis dan taburan lada hitam pada enam piring porselen. Kemudian membagikannya pada keenam anak yang telah duduk rapih. Tiga anak duduk di sisi kiri dan tiga anak lainnya duduk di sisi kanan.
   “Oke,” ujar Nyonya Rose. “Sebelum makan kita berdoa. Oh ya, sayang buat permintaan dulu.”
   “Ya, ya, buat permintaan, Nasha!” ujar salah seorang anak kurus dan bertubuh tinggi.
   “Ya, ya, buat permintaan, Nasha!” ujar anak lain yang duduk di sebelahnya mengulang. Mereka nampak mirip, serupa, dengan tinggi yang sama. Hanya bintik di wajah pada salah satunya yang membedakan dengan anak satunya yang tidak memiliki bintik.
   “Aku malu kalau harus di ucapkan, bu,” ujar anak perempuan yang duduk di sebelah kanan Nyonya Rose dan di sebelah si kembar. Dia bernama Nasha, berparas cantik, dengan rambut hitam panjang yang pekat, beralis hitam tipis, mata bulat kecil, bibir tipis memerah, dan pipi yang merona setelah didandani Nyonya Rose selama sejam lebih. Dia mengenakan gaun biru, yang membuatnya nampak sepeti bidadari langit tersesat setelah hujan mengguyur, anak perempuan yang cantik, setidaknya itu yang terpikir di benak seorang anak lelaki yang sedari tadi menatapnya diam-diam sejak duduk di kursinya.
   “Tak usah malu,” ujar seorang anak yang terlihat lebih rapih dengan kemeja hitamnya dan tampan karena rambut klimis menyampingnya. Anak itu mengucapkannya tanpa menoleh dari wajah Nasha dengan seksama, dan penuh kasih sayang.
   “Katakan, Nasha,” ujarnya lembut.
   “Kami ingin mendengarnya,” ujar anak perempuan bertubuh kecil yang duduk disebelahnya dan anak lelaki yang tertunduk diam tak bicara sedari tadi.
   “Ayo katakan, sayang,” ujar Nyonya Rose lembut membelai rambut Nasha yang menunduk malu.
Nyonya Rose bertubuh gemuk, berwajah kemerahan, dan berhidung mancung seperti putrinya. Nasha memiliki mata yang sama dengan Nyonya Rose, dan Nyonya Rose sama cantik dengannya. Nyonya Rose memiliki darah Belanda.
   “Ngg, aku ingin...,” ujar putrinya menunduk malu. “aku ingin menjadi pengantin yang cantik dan menikah di istana megah.” Nasha tersenyum lembut, wajahnya memerah walaupun sudah memerah. Nyonya Rose tersenyum dan membelai rambutnya lagi.
   “Semoga terkabul, sayang,” ujarnya.
   “Semoga terkabul!” ujar semua anak mengamini, terkecuali anak lelaki yang diam hanya tersenyum dan menatap Nasha tak berkedip.
   “Ya, kita makan sekarang, anak-anak,” ujar Nyonya Rose.
   “Aku sudah lapar sekali,” ujar salah seorang si kembar.
   “Aku dapat bagian paha, Rud,” ujar kembarannya.
   “Aku paha kirinya, Ted,” ujar yang wajah berbintik.
   “Maaf, Nyonya Rose,” ujar si anak tampan menyela sopan. “Boleh aku memberi hadiah untuk Nasha?”
   “Oh, ya,” jawab Nyonya Rose.
   Si anak tampan memberikan bungkusan kotak dan setangkai bunga di atasnya pada Nasha. Dan mengucapkan selamat ulang tahun padanya dengan lembut dan penuh kasih. Nasha wajahnya semakin merona, saat si tampan menjabat tangannya. Anak lelaki yang diam tidak melihatnya, bukan, ia hanya tak berani melihatnya, dan tertunduk menatap piring porselennya.
   “Terima kasih,  Ed,” ujar Nasha membalasnya penuh kasih. Edie si tampan tersenyum manis dan terlihat bahagia mendengarnya.
   “Kau romantis, Ed,” ujar si kembar yang berbintik.
   “Ya, kau romantis, Ed,” ujar si kembar lainnya. Ed tertawa kecil, Nyonya Rose hanya tersenyum, si gadis kecil tertawa, Nasha tertawa dengan wajah menyenangkannya, si anak lelaki yang diam tersenyum kecil menatap Nasha dan memalingkan lagi pandangnya pada piring poreselen kesayangan Nyonya Rose.
   Mereka menyantap masakkan yang di buat Nyonya Rose. Nyonya Rose sangat pandai memasak. Si kembar makan sambil tertawa, dan membuat lelucon, atau mengejek Ed yang menaruh rasa pada Nasha. Si gadis kecil bernama Helen tersedak tertawa. Ed hanya tersenyum dan tak pernah melepas pandangnya dari Nasha. Nasha hanya berani sesekali membalasnya, dan merona. Nyonya Rose hanya melihat mereka, bahagia melihat putrinya kini berusia tiga belas tahun tertawa dengan teman-teman sebayanya. Si anak lelaki yang diam tetap diam dan terkadang tersenyum, lalu mencuri pandang dengan cepat menatap Nasha. Itu keahliannya, menatap gadis yang berulang tahun itu secara diam-diam. Kedua bola matanya memiliki kelebihan dalam hal itu, juga ketika memancing dan menangkap belalang.
    Ia sangat menyukai wajah gadis itu, dan tak henti-hentinya mengagumi rambut dan mata gadis itu dalam benak. Ya, hanya dalam benak, dan membatin juga berkhayal. Celana panjangnya sedikit kotor oleh lumpur setelah penuh semangat menuruni bukit. Setibanya di sini, hanya kecut diam, mencuri pandang. Namun itu cukup membuatnya bahagia, puas tak kepayang melihat gadis itu tersenyum.
   Dadanya sempat merasa tertusuk ketika Ed memberi gadis itu hadiah dan bunga. Sempat dalam batin ia menyesal telah datang. Kini, ia mencoba melupakannya, namun dadanya tetap sesak. Otaknya tak mampu berpikir jernih. Dalam saku celananya terdapat kotak yang berisi kalung. Kalung yang ia buat sejak seminggu sebelum hari ini dari akar-akar pepohonan. Dibuat penuh kasih dan harap, untuk gadis itu. Tapi ia terlalu kecut tuk memberinya, nyalinya jatuh melihat Ed, hatinya terasa rapuh. Kedua matanya seakan melukiskan kekalahan dengan senyum paksanya.
   “Dirga,” ujar Nyonya Rose padanya. “Kenapa diam saja, sayang?”
Dirga terjaga dari dunia benaknya. Menengadah wajahnya pada Nyonya Rose. Ia mencoba tersnyum, dan sempat menoleh pada gadis itu.
   “Eh, iya maaf,” ujarnya.
   “Apa kamu sakit, nak?”
   “Tidak kok, Nyonya Rose,”
   “Lantas?” tanya Nyonya Rose. Semua terdiam melihat Dirga.
   “Aku tidak apa-apa, Nyonya Rose,” ujarnya terdengar bergetar.
   “Apa ada sesuatu yang ingin dikatakan, nak?”
   “Mungkin kamu kekenyangan,” ujar si kembar berbintik membuat lelucon, namun tak ada yang tertawa.
   “Mungkin kamu rindu ayahmu,” ujar si kembar lainnya mencoba lelucon lain.
   “Ah, tidak ada, Nyonya Rose,”
   “Kamu kenapa, Dirga?” tanya Nasha padanya.
   Dirga bergetar, jiwanya merasa bergelora mendengar gadis itu berkata padanya, dan mengacuhkan Ed yang menatapnya datar.
   “Kamu ini kenapa?” tanya Helen si gadis kecil menyiku bahunya.
   “Aku tidak apa-apa kok, maaf,”
   “Oh ya,” ujar Nyonya Rose lembut. “Bagaimana kabar ayahmu, nak?”
   “Dia baik-baik saja, Nyonya Rose,” jawab Dirga.
   “Apa yang dikerjakannya sekarang?”
   “Masih memotong kayu,”
   “Dan memancing,” ujar si kembar Ted.
   “Juga berburu,” sambung si kembar Rud.
   “Oh,” ujar Nyonya Rose tersenyum padanya.
   “Oh iya, Dirga,” ujar Nasha tersenyum. “ajak aku memancing di sungai kapan-kapan ya.”
   Entah apa yang dirasakan ia mendengar gadis itu meminta padanya. Ia hanya diam kaku melihatnya. Sesak di dadanya punah seketika, darah mengalir deras menuju kepalanya, perutnya merasa hangat. Ia bahagia.
   “Oh iya, Nyonya Rose,” ujar Helen. “Lusa giliran Dirga berulang tahun.”
   “Wah, benarkah?” ujar Nyonya Rose sumringah.
   “Iya, bu,” ujar Nasha juga sumringah. “Lusa dia yang ulang tahun.”
   Ed tetap diam dan melihat Nasha yang nampak simpatik pada anak lelaki itu. Ed seperti tidak suka mendengar gadis itu mengatakannya.
   “Wah, selamat teman!” ujar si kembar bersamaan.
   “Apa akan dirayakan?” tanya Ed datar.
   “Ngg, sepertinya tidak,” jawab Dirga.
   “Kenapa tidak?” Nasha bertanya heran, namun lembut.
   “A, ayah tidak suka pesta,”
   “Oh,” ujar Ed tetap datar.
   “Sayang sekali,” si kembar Rud menyayangkan.
   “Oh iya,” uajr Nasha senyum semangat. “lusa ajak aku dan Ed ke sungai ya, Dirga. Kamu pernah bilang ada mata air jernih di sana. Ajak aku ya, Ed juga.”
   “Kami tidak di ajak?” si kembar menyela.
   “Jangan. Aku ingin bersama Ed saja. Bolehkan, bu?
   “Curang, dasar kalian kasmaran,” ujar si kembar bersamaan dan tertawa.
   “Ya, tapi hati-hati,” ujar Nyonya Rose.
   “Senangnya,” gadis itu berkata dengan senyum manisnya. “kamu mau kan, Dirga?”
   Rasa bahagia anak lelaki itu tersapu seketika. Entah, namun dadanya kembali berat. Tubuhnya bergetar, matanya nampak kecut. Lidahnya beku, sulit berkata.
   “I, iya boleh, kok,” ujarnya merasa getir.
   “Wah, terima kasih!”
   Ed menatapnya penuh kemenangan. Dirga kembali menatap piring porselen di hadapannya. Ia merasakan sesuatu yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Seperti inikah menjadi lelaki, ia membatin. Rasa apa ini, dadaku sesak. Ia menerawang wajah ayahnya pada permukaan piring porselen yang kotor dengan sisa makannya yang tak habis. Wajah ayahnya yang tanpa ekspresi, dengan rahang besar dan berkerut. Pundak yang besar, pondasi kokoh menahan jiwa yang tak pernah ia ketahui apakah pernah merasakan apa yang ia rasakan juga. Hanya, di matanya, ayahnya seorang yang tangguh pendiam bertubuh tinggi. Tidak pernah tahu apakah ayahnya juga pernah rapuh seperti ini. Ayah. Ia ingin mengadu padanya.
   Mentari semakin tenggelam dari balik bukit. Pesta telah usai dengan ciuman pada kening Nyonya Rose oleh Nasha. Kelima anak itu berpamitan, meninggalkan pondok. Dirga mengenakan sandal kotornya, si kembar tak henti-henti mengagumi masakkan Nyonya Rose, Helen si gadis kecil memeluk Nasha dan pamit pada Nyonya Rose, Ed si tampan menjabat lengan Nasha dan mengulang ucapan selamat ulang tahun padanya. Dirga mengalihkan hal tersebut pada si kembar yang lebih dulu meninggalkan pondok sambil bercanda.
   Dirga tak cukup berani berkata sepatah pun pada Nasha, dan hanya memandangnya. Gadis itu membalas dengan senyum lembutnya, Ed tidak melihat hal itu. Mereka berpisah di tengah jalan, Dirga melewati tepi ladang jagung menuju bukit. Ia melihat Ed berjalan tegak dari arah yang berlawanan, kemudian memalingkan matanya pada pondok hangat tempat Nasha bersama Nyonya Rose bernaung bahagia di dalamnya. Merogoh saku celananya merasakan kalung tuk Nasha dengan telapak lengannya. Dadanya bergetar.
   Ia menyusuri kaki bukit, melewati pepohonan pinus yang hangat. Jalan setapak yang lembut, dengan tanah yang gembur, dan mentari masih cukup terang untuk mendaki bukit. Ia melihat burung hantu yang masih tertidur sejak menuruni bukit tadi, ia ingat betul tempat dan posisi tidur burung hantu itu masih sama dengan yang ia lihat sebelumnya. Pemalas, ia membatin, tapi kau hebat.
   Ia telah sampai pada puncak bukit, terdapat pondokan kecil yang terang dengan lentera di dalamnya, dan lentera padam yang tergantung pada tiang pondasi. Beberapa tumpukkan kayu yang telah dikuliti berjejer rapih di samping kiri pondok, dengan kapak besar tertancap di atas salah satu tumpukkan. Ia menaruh sandal kotornya di samping luar pintu. Ia melihat ayahnya yang sedang duduk di kursi goyangnya sambil membaca koran. Kopi susu hangat di meja sebelahnya. Di depan ayahnya, pelita telah menyala dengan api kecil, namun hangat.
   “Bagaimana pestanya?” ujar ayahnya tanpa melihat. Wajahnya terbenam dalam koran yang direntangkan.
   “Menyenangkan,” jawabnya datar, sambil membuka kemeja. Kemudian mengenakan kaus tebal yang tergantung pada dinding pondok.
   “Kau lapar?”
   “Tidak, tadi Nyonya Rose memasak.”
   “Minumlah susumu.”
   “Aku terlalu kenyang.”
   Sang ayah melihatnya dari balik koran. Melipatnya dan memandang ia. Wajahnya yang cekung tak berekspresi. Memandangnya cukup lama, dan si anak hanya diam duduk menatap lurus pada lantai.
Dia bangkit dari kursi goyangnya, mengambil potongan kayu dan memasukkannya pada pelita dengan apinya yang mulai mengecil. Meniupnya beberapa kali hingga api membesar.
   “Hangatkan tubuhmu,” ujarnya pada si anak.
   Dia menatap putranya masih tetap lurus memandang lantai tak berkata. Bayang anak itu terlukis pada dinding pondok. Angin mendesau di luar pondok, dan langit mulai gelap. Suhu di puncak bukit pun membeku. Si anak masih tetap diam dalam pandang kosongnya, menerawang jauh dalam dunia benaknya. Ayahnya terpaku menatapnya. Menutup pintu pondok dan beberapa jendela. Memanaskan air dengan termos yang digantung di atas api pelita. Menuangkan susu bubuk ditambah beberapa sendok gula.
   Menunggu termos berbunyi, kemudian kembali menatap kaku anaknya yang tetap dalam keadaan sama. Meniup perapian, dan menatapnya lagi.
   “Kau akan baik-baik saja,” ujarnya pada si anak. Si anak tetap diam tak bergerak. Hanya deru napasnya yang terdengar. Tiupan angin semakin kencang di luar pondok. Jerit burung hantu terbawa olehnya, mungkin hanya igauan si burung hantu di hutan sana.
   Sang ayah melihat keadaan di luar pondok lewat jendela, memastikan tidak terjadi apa-apa pada tumpukkan kayunya. Si anak terus berdiam tak berkata. Ayahnya kembali menatapnya, melihat matanya yang lurus tajam memandang lantai.
   “Ayah,” ujar si anak memulai bicara namun tetap memandang lantai. “apa aku akan baik-baik saja?” Ayahnya menatap dalam padanya. Dahinya berkerut penuh kasih melihatnya.
   “Ya, kau akan baik-baik saja,” ujarnya datar dengan suara berat.
   “Apa ayah yakin?”
   “Tentu,”
   “Aku tidak yakin,”
   “Aku tahu,”
   “Apa aku akan baik-baik saja setelahnya?”
   “Tentu,”
   “Aku tidak yakin,”
   “Itulah lelaki,” ujar ayahnya, meniup perapian.
   “Apa harus seperti ini yang dinamakan lelaki?” si anak bertanya, dan mulai mengalihkan pandangnya pada tubuh sang ayah yang besar sedang berjongkok.
   “Selalu,”
   “Oh,” ujar si anak. Kemudian ia mulai kembali menatap lantai dan diam tak bergerak.
   Angin terus bertiup kencang. Membuat si burung hantu di hutan sana membeku. Daun pepohonan pinus saling bergesekkan. Api lentera di luar pondok yang tergantung padam, diam membisu sama halnya dengan sandal kotor yang tergeletak di sebelah kalung akar pepohonan yang dijatuhkannya.

Maut

            “Dua roda belakang bocor!” teriak kondekturr pada supir.
            “Ambil dongkrak,” sahut supir. “cepat ganti, nanti keburu gelap!”
            Cuaca terlalu panas, terlalu panas untuk berhenti di tengah jalan yang gersang sekarang. Punggungku berkeringat, basah membekas pada bangku yang kududuki.  Cuaca terlalu panas, walaupun waktu menunjukkan telah petang. Musim panas, yeah aku tidak pernah suka musim panas.
            Kubuka jendela sepenuhnya. Sekelebat angin panas menerpa wajahku. Kulihat kondektur sedang memutar dongkrak. Wajahnya basah oleh keringat, terlebih pakaiannya dengan kaos abu-abu bergambar Marlyn Monroe tanpa pakaian. Handuk birunya yang dilingkari di tengkuk pun tak luput basah. Si kondektur seperti sedang mempertaruhkan nyawa, di tengah terik matahari.
Si supir pun keluar dari bus dan membantunya. Dia merokok. Merokok di tengah terik matahari seperti ini. Asap tembakau menyembul dari mulutnya, ketika menggelindingkan roda cadangan. Aku ingin merokok, melihat si supir merokok, aku pun ingin merokok. Tidak, aku tidak perlu merokok, yang kubutuhkan adalah air di cuaca seperti ini.
Kubuka botol air mineral yang kubeli di perhentian sebelumnya. Kosong, tak tersisa setetes pun. Kerongkonganku makin terasa kering, segersang aspal jalan membayang yang kupandang. Kuperhatikan sekeliling jalan lewat jendela. Tak adakah rumah makan, tak adakah kedai minum di sekitar sini. Kerongkonganku terlalu kering dan lapar, aku dehidrasi.
“Tak bisakah, kau tutup jendelanya?”  ujar seorang wanita. “Terlalu panas untuk membuka jendela sekarang, kau tahu?”
Kulihat wajah wanita itu. Wanita paruh baya, dengan hidung besar, wajahnya memerah kepanasan, dan terlihat makin panas dengan apa yang kulakukan. Aku memandangnya beberapa detik, sejak aku duduk bersebelahan dengannya dari terminal keberangkatan, aku tidak pernah melihat wajahnya seksama. Bibirnya agak tebal, dan telinga kirinya terlihat seperti lebih kecil dari telinga kanannya.
“Hei, kau dengar?” ujarnya lagi kesal.
Aku menutup jendela tanpa menyahutinya. Tidak, aku tidak menyahutinya karena kerongkonganku terlalu kering untuk bicara. Wanita ini hanya membuatku tambah merasa haus. Kupandang lagi sekitar jalan, menghindari wajah aneh wanita itu. Angin bertiup cukup kencang. Karena hari memang sudah petang, tapi cuaca terlalu panas untuk disebut petang. Angin panas menerpa debu di sekitar jalan, kulihat si kondektur dan si supir melindungi wajahnya dengan handuk mereka.
Aku merasa haus. Kerongkonganku benar-benar kering. Aku menyesal tidak membeli air botolan lebih, aku membatin. Kenapa aku tidak pergi saat musim dingin saja atau musim semi juga tidak terlalu buruk, walau di negeri ini tidak ada musim semi. Saat musim panas seperti ini, pemikiran terbaik adalah duduk pada teras dengan segelas air jeruk perasan, ditambah tiga sendok gula dan banyak batu es. Kemudian membaca beberapa buku, juga mendengar musik tentang kerinduan. Atau mendengar prakiraan cuaca lewat radio, atau pun menonton beberapa pertandingan sepak bola di TV. Tidak, saat musim panas tidak seorang pemain pun yang mau bermain sepak bola, mereka pun berpikir yang sama denganku. Mungkin, menonton perlombaan renang.
Renang, aku ingin berenang di musim panas seperti ini. Berenang di sungai bening dengan arus lembut. Beradu cepat dengan ikan-ikan gabus tua, dan sudah barang pasti aku yang menang. Aku perenang ulung, perenang jenius. Aku rindu tempat tinggalku, aku rindu sungai kecil di sana. Semasa kecil aku selalu berenang di sana bersama kawan-kawanku, dan memancing gabus-gabus tua setiap musim panasnya. Aku ingin berenang, dan aku butuh air.
Kudengar wanita aneh di sebelahku mengeluh pada si supir dan si kondektur. Kata-katanya tidak jelas, mungkin lidahnya terlalu pendek karena kepanasan. Aku tidak suka dengan wanita ini. Kuambil ransel yang kuetakkan di bawah bangku, seraya bangkit dari duduk. Berjalan kesulitan melewati wanita aneh itu tanpa permisi. Wanita aneh itu memandangku kesal, aku tak menghardik wajah anehnya.
“Mau apa kau, heh?” ujar si wanita aneh dengan mimik wajah memerah seperti kepiting rebus.
“Menjauh darimu.” ujarku tenang, mengacuhkannya.
Aku menyusuri lorong bus yang sempit. Para penumpang lain yang kepanasan menatapku, masing-masing dengan wajah-wajah aneh tak berbentuknya tanpa berkata. Aku menuruni bus. Cuaca lebih panas menyengat di luar. Kulit seperti terbakar, kepalaku pening seketika. Si supir dan si konduktor yang tetap sibuk teralihkan perhatiannya.
Si supir masih dengan rokoknya bertanya, “Mau kemana, Pak?”
“Mencari kedai minum,” jawabku menyipitkan mata menatapnya. “aku berjalan kaki saja.”
“Sudah hampir selesai, kok.” Ujar si kondektur.
“Masuklah, di luar sangat panas.” Ujar si supir menambahkan.
“Tidak, terima kasih,” sahutku. “tujuanku sudah dekat.”
Aku tahu aku berbohong pada mereka. Tempat tujuanku masih sangat jauh. Jalan ini hanya jalan kosong, gersang, dan beberapa kilometer panjang lagi. Dan mereka tahu aku bohong, mungkin bodoh.
Aku berjalan meninggalkan mereka, menjauhi bus. Sejenak kulihat balik si supir dan si kondektur tetap memandang kepergianku. Tidak begitu jelas wajah mereka, panas di luar menyebabkan aku tidak bisa melihat dengan jelas, terlalu silau dan panas. Mereka dan bus perlahan menghilang dari pandangan. Di luar benar-benar sangat panas. Kepalaku pening, jaket yang kukenakan pun tak berdaya melindungi kulit. Uap panas dalam jaket membakar kulitku. Keringat basah deras keluar di sekujur pori-pori wajah dan tubuh.
Aku berjalan terus. Aspal jalan begitu kering, di bagian tengahnya terdapat retakkan, memanjang ke depan. Jalan ini benar-benar sangat gersang. Di setiap sisi jalan hanya ada lapang rerumputan kering berpasir cokelat kekuningan. Rumput telah kering menguning, tak ada pepohonan. Bahkan tak kendaraan satu pun yang lewat selain bus yang berhenti. Hanya terasa tiupan angin panas menerpa wajahku yang membawa pasir-pasir kering.
Kerongkonganku kini menjadi perih. Aku sangat haus, dan kepala sangat pening. Sejenak kuhentikan langkah, mencoba menjernihkan pikiran dan mengatur alur napas. Kemudian berjalan kembali. Lagi-lagi pikiranku memutar kenangan di sungai sewaktu kecil dahulu. Wajah kawan-kawan kecilku, dingin air sungai yang bening, ikan gabus-gabus tua, dan terngiang jelas bagaimana cipratan air sungai ketika aku terjun bebas dari pohon tinggi di sekitar sungai. Aku sering melakukan penetrasi luar biasa saat berenang di sungai itu. Menenggelamkan diri dengan kepala berada di dasar sungai dan kaki menjulang ke atas, dalam posisi tubuh tegak lurus dan mencoba bertahan dari arus. Aku dapat melihat jelas ikan gabus-gabus tua dari dasar sungai. Mereka menatapku, berenang di hadapan wajahku, aku selalu tersenyum melihat mereka. Aku bisa melakukannya selama empat menit. Kawan-kawanku selalu terkagum setiap aku melakukannya.
Begitu pun setiap kami memancing di sana. Aku selalu beruntung dari mereka. Aku selalu mendapat ikan lebih besar. Aku tidak pernah tak mendapat ikan. Entah, jika sudah berada di sungai itu keberuntungan selalu membelengguku. Memancing tidak hanya mengandalkan teknik dan umpan terbaik, namun juga keberuntungan. Tetapi umpan memiliki peran cukup penting, gunakan belalang hijau yang hidup atau cacing gemuk agak kemerahan dengan setiap ujung ekor dan kepalanya mengecil dan hidup. Ayahku yang memberitahukannya. Ayah. Ayah. Ayah.
Kini aku merindukan ayahku. Ayah yang mengajariku berenang dan memancing. Ayahku lebih jenius saat berenang, tapi selalu tidak beruntung ketika memancing. Aku lebih jenius dan beruntung saat memancing, padahal ayah yang mengajariku memancing dan memberitahuku soal ‘keberuntungan’. Teringat jelas, pernah saat aku memancing bersama ayah. Aku berhasil mendapat lima ekor ikan besar dan ayahku tak mendapat satupun. Aku girang tak kepayang, dan ayah hanya memberi ucapan selamat tanpa terbata, namun aku dapat mengingat, sangat mengingat raut wajahnya yang pedih dan penuh kekalahan antara kagum dan memilukan. Raut ayahku sangat memalukan saat itu, tapi aku sangat suka wajah yang luar biasa itu.
Kenangan yang berputar dan merasuki otak juga gelora jiwaku. Aku selalu terkenang masa-masa itu. Lagi-lagi perih di kerongkonganku membuyarkan kenanganku. Kakiku terasa lembab dan gatal. Aku menyesal mengenakan sepatu kulit di cuaca seperti ini. Panas dan keringat membuat kaki terasa lembab dan gatal. Aku menyentakkan kakiku beberapa kali. Aku benar-benar sangat haus. Keringatku mulai mengering, dan keringatku habis tak tersisa. Cairan yang ada di dalam tubuhku telah habis menguap sepertinya.
Terdampar seekor kadal kecil di tengah jalan. Diam mematung seakan tak bernyawa. Dia berwarna hijau dengan sedikit corak kecokelatan. Ekornya panjang dan mengecil hingga keujungnya, lebih panjang dari tubuhnya. Kulitnya bersisik kasar, matanya besar menonjol keluar. Kulihat kaki kiri depan diangkatnya, lalu kaki kanan depannya, kemudian kedua kaki belakang berurutan diangkatnya. Sepertinya keempat kakinya melepuh panas karena dia tak memakai sepatu walau sisik di kakinya cukup tebal. Lidahnya yang melengkung spiral keluar dari mulutnya yang mengatup rapat, membasahi kedua matanya yang besar.  Ekornya sama sekali tak bergerak.
Aku menghampirinya perlahan, mencoba tak bersuara dari langkah sepatu bot kulitku yang lembab. Aku berada tepat di belakangnya, posisi titik mati penglihatannya. Aku berjongkok, memperhatikan kembali tubuhnya dan terpesona. Dengan cepat tangan kananku merengkuh tubuhnya, dan menggenggamnya erat namun tak keras agar tak melukainya. Kuperhatikan tubuh bagian bawahnya, putih halus mengkilap tanpa sisik. Kau sungguh menakjubkan, kau mampu bertahan di tengah cuaca seperti ini, kau hal terindah sepanjang perjalananku ini, hendak apa gerangan kau, kadal kecil tak berdaya, aku membatin.
Kadal itu tetap diam tak berontak dalam genggaman. Kuperhatikan seksama matanya yang sangat bulat, kelopaknya menutup dan membuka secepat yang dilakukan kelopak mataku saat berada di dalam sungai. Kuletakkan kembali dia pada jalan, keempat kakinya tersentak kaget oleh panas, aku tertawa tak bersuara melihatnya. Kuletakkan lagi dengan perlahan, dan kulepas genggamanku, seraya kadal itu dengan langkahnya yang cepat menjauh menuju lapang rerumputan kering menguning.
“Sampai jumpa,” ujarku berteriak. “semoga kau menemukan air. Dan beritahu aku jika benar menemukannya, kawan!”
Aku kembali berjalan, dan panas tetap menghujaniku. Aku mencoba memutar kembali kenangan di sungai bersama ayahku. Ayah pernah bercerita padaku, bahwa ia mendapat pelajaran cinta dan seks pertamanya di sungai itu. Aku mencoba mengingat raut wajahnya saat menceritakan itu padaku. Kerongkongan yang perih menghancurkan daya kerja otakku, wajah ayah pun buyar dalam benak.
Kenangan menjadi pondasiku bertahan di perjalanan yang menderitakan ini. Aku terus mengenang, dan menjauhi pikiran dari rasa perih dan kering di kerongkonganku. Kedua kakiku mulai melemas dan gemetar. bagaimana kabarmu, ayah? Aku membatin, apa wajahmu tetap sama dengan yang lalu? Matamu takkan berbeda, ya, aku tahu matamu tak berubah. Bagaimana kabarmu, ayah? Ada sesuatu, ada sesuatu, sesuatu yang ingin kukatakan padamu. Bagaimana kabarmu, ayah? Ada sesuatu, ada sesuatu, sesuatu yang belum kau ajarkan padaku. Bagaimana kabarmu, ayah? Di mana ia berada? Ayah, dimana ia berada? Ah percuma, maut sudah merasuki dadaku. Ayah, beginikah maut ketika merasuki dadamu? Sesakit inikah? Bagaimana kabarmu, ayah? Maut-mu itu kini merasukiku. Apa kabar, maut? Bagaimana kabar ayahku? Apa kabarmu, maut? Diam, jangan bicara denganku! Bukan, katakan, katakan saja bagaimana kabar ayahku. Diam, lalu diam, jangan berkata padaku. Bagaimana kabarmu, ayah?
Deru mobil memecah kesunyian panas. Melepas maut seketika dari dadaku. Deru dari kejauhan di belakang punggungku, mendekat, berhenti di sampingku.
Pintu bis terbuka yang berjendelakan kaca retak yang terbuka. Si kondektur mendorong pintu melebar, “Masuklah, Pak. Cepat!”
“Ah, kau sudah datang, maut!”
“Maut?” ujar si kondektur bingung.
“Ah, maaf,” ujarku tersadar. “Aku sedikit berhalusinasi tadi, ya, maaf.”
“Cepatlah masuk, Pak!”
“Ya,” Aku memasuki bis, dan di dalam terasa lebih lembab dari keadaan di luar walau tetap terasa panas. Kulihat kursi semula tempat kududuk bersama si wanita bertelinga aneh itu. Dia tertidur tak mendengkur. Si kondektur menatapku yang melihat wanita itu. Si supir menginjak pedal gas, aku sedikit terhuyung.
“Boleh aku duduk di tempat lain?” pintaku pada si kondektur.
“Ya, duduk saja di tempatku,” jawab si kondektur yang kini terpaku bingung menatap si wanita aneh yang kulihat.
“Terima kasih,”
“Ya, tapi mungkin anda akan sedikit pening duduk di sini, tak ada sandaran.”
“Tak apa, jauhkan aku dari dia, itu saja.” Si kondektur tersenyum, dan si supir tertawa dari balik kaca spion kecil di atasnya.
Bus berjalan cukup tenang, si supir kembali menyalakan rokok, dan si kondektur bersandar pada pintu, penumpang lain sibuk dengan kesibukkannya sendiri melawan lembab panas di dalam bus yang mulai membau.
“Apa yang kau lakukan di luar tadi?” si supir bertanya.
“Hanya berjalan,” jawabku.
“Kau menemukan sesuatu?” ujarnya tersenyum kecil.
“Tak ada, hanya panas dan seekor kadal kepanasan.”
“Kadal?” ujar si kondektur.
“Ya, kadal yang kepanasan.”
“Mungkin dia sudah kita lindas tadi.” Ujar si supir lagi dan menarik perseneling.
“Kadal itu bergerak cepat, Toni!” ujar si kondektur.
“Bus kita lebih cepat dari itu.”
“Tidak, kakinya yang kecil meringankan tubuhnya untuk bergerak.”
“Sejak kapan kau tahu tentang kadal?”
“Sejak aku belum mengenal dinosaurus.” Si supir tertawa, dan si kondektur melihatnya sedikit kesal kemudian ikut tertawa.
“Merokok?”
“Tidak,” jawabku. “Aku butuh air.”
“Merokoklah, Pak.” Ujar si supir. “konon merokok dapat menghilangkan haus.”
“Tahu darimana kau, Toni?” ujar si kondektur.
“Barusan, ayolah temani kami merokok, Pak.”
“Aku belum merokok,” sahut si kondektur.
“Nyalakan rokokmu sana, dan kau silahkan ikut merokok, Pak, hausmu akan hilang.”
“Ya, boleh kucoba rokokmu?”
“Dengan senang hati,”
“Rokokku habis, Toni!” ujar si kondektur.
“Pakai rokokku!” ujar si supir. “Lalu, apa yang kau temukan lagi di luar sana, Pak?”
Aku mengambil sebatang rokokknya, menyalakan dan menyesapnya, “Tak ada, hanya maut.”

Danau Yang Terlampau Sepi



Pagi ini terlalu dingin untuk berjalan dengan bertelanjang kaki. Terlebih hujan mengguyur tak deras semalaman dan angin bertiup keras. Sardi, si pemuda canggung yang tak mau mengingat usianya, berjalan membopong joran dari bambu hijau yang lentur dan mulai menguning. Benang pancing menjulur dari ujung bambu yang di ujungnya terikat kail kecil, yang cukup kuat untuk mengait paus. Ayahnya pernah berkata, “Ayah pernah mendapat penyu tua besar tapi terlalu muda untuk disebut tua, di danau. Penyu itu bermata kelam, dan jelas keriput di sekitar kulitnya menggambarkan betapa bodohnya dia mengarungi danau. Ayah pernah mendapatkannya dengan joran ini.”
Jelas di benak Sardi ketika mendengarnya, bahwa Ayahnya luar biasa. Saat itu dia berusia 10 tahun, bocah tolol yang dibohongi oleh dongeng Sang Ayah, yang bahkan dongeng yang tak pernah didengarnya ketika dininabobokan oleh Ibunya. Tapi sekarang ketika mengingatnya, dia merasa tidak ingin mengingatnya. Membuatnya mual, rasa yang naik hingga ke dalam otak dan membuatnya ingin menikah dan menceritakan hal yang sama pada anaknya kelak. Dia ingin memiliki seorang putra, dan sama bodohnya dengan dirinya. Baginya orang bodoh adalah manusia luar biasa, sama seperti Sang Ayah. Bodoh adalah cita-cita.
Sardi menyusuri hutan yang basah. Ibu jari kakinya menonjol keluar dari balik lumpur yang menyelimuti kakinya. Dia berjalan cepat melewati rawa-rawa kering yang mulai basah. Dia senang hujan turun di hutan ini. Singa-singa pasti meringkuk beku kedinginan, beruang-beruang tak berotak sibuk menguliti pepohonan pinus dan dicampuri pada secangkir tehnya, sementara ayam-ayam hutan tertawa mengejek mereka.
Kembali dia teringat di otak yang seharusnya tak bekerja untuk memutar kenangan dalam perjalanannya. Sedikit jengkel, tetapi tak berdaya. Entah kapan terjadi, dia tak ingat yang sebenarnya dia ingat. Dia berjalan menyusuri hutan ini bersama Si Cantik Tuli. Dia menganggapnya sebuah kencan, tapi Si Cantik Tuli menganggapnya hanya jalan-jalan bodoh. Menyusuri rawa-rawa yang saat itu musim dingin. Melompati batang tubuh pohon yang roboh, memetik buah berry, yang mereka sebut Simalakama. Berduduk santai di tepi danau. Danau dengan air hijau tenang tak berarus. Sardi mencoba terlentang santai disebelah Si Cantik Tuli. Agak sulit, sangat sulit untuk mencoba santai ketika kita bersama seseorang yang kita cintai, dan selalu memaksa untuk dibawa ke dalam mimpi, terlebih di tepi danau yang sepi, pikir Sardi.
“Sepi ya,” ujar Si Cantik Tuli.
“Ya, sangat sepi,” ujar Sardi.
“Tuhan sangat hebat,” kagum Si Cantik Tuli. “Mungkin Tuhan telah menumpahkan air matanya ke hutan ini, dan menjadi danau ini. Danau ini sangat sepi.”
“Terlalu sepi,” ujar Sardi.
“Sardi, kau terlalu buta untuk merendahkanNya.”

“Tidak, aku tidak merendahkanNya. Apa kau tidak melihat garis bibirku yang melebar ketika aku mengatakannya, Karmah?”

“Tidak, aku terlalu sibuk mengagumi danau ini dan juga Tuhan.”
“Kau hebat menyingkir. Kau memang hebat menyakitiku.”
Karmah menengok. Menatap Sardi yang terlentang memandangi awan-awan putih yang berarak-arakkan. Dirinya seperti menganggap Sardi lelaki bodoh yang menganggap Tuhan sama bodoh seperti dia. Tapi Karmah dapat melihat pada matanya, bahwa Sardi mengagumi segala yang diciptakan Tuhan, hanya tidak ingin diujarkan.
“Kau menyakitiku, Sardi.” Ujar Karmah.
“Kau perasa,” ujar Sardi. “Mungkin karena itu kau tidak pernah setuju atau mengakui perkataanku. Kau lebih menyukai kata-kata sampah Si Amerika sial itu. Dia mencoba ingin sepertiku, bersyair, tapi terlihat tolol.”
“Jack, tidak tolol. Dan kau bukan penyair.”
“Yeah, Si Amerika yang mencoba berkoloni dengan orang-orang Belanda itu. Dan tidak hanya mencuri dan menjajah di tanah ini, tapi merengkuh segala keberuntungan dan cintaku. Dan ingatlah aku ini penyair, Karmah.”
“Jack bukan pengkhianat,” ujar Karmah kesal. “Dia turis yang sedang mencari cinta, dan aku tak kan pernah ingat kau adalah penyair.”
“Si Turis Amerika yang mencuri cintaku, yeah.”
“Aku tak pernah tahu kau mencintaiku.”
“Yeah, kau tahu. Dan kau sudah tahu, sejak kau lahir kau sudah tahu.”
“Kau ini gila!”
“Yeah, juga lelaki gila yang disungkurkan oleh ludah wanita yang dicintainya.”
“Aku benci kau!” ujar Karmah bergetar.
“Tapi tahu kalau aku mencintaimu.” Ujar Sardi meneruskan.
“Apa seperti ini cara penyair menyatakan cinta?” ujar Karmah. “Menyedihkan, eh.”
“Mungkin,” ujar Sardi. “Hanya penyair sepertiku yang melakukannya, yang lain hanya orang-orang tolol yang mencoba menjadi penyair dan menyatakan cinta dengan sampah-sampah bau, tak berguna, seperti Si Turis Amerika.”
“Apa pernyataan kau itu berhasil?”
“Berhasil, pasti berhasil. Karena kau tahu aku mencintaimu.”
“Maaf, Sardi,” ujar Karmah merasa iba. “Kau lebih payah dari orang-orang yang kau lecehkan.”
“Yeah, si gila yang payah. Tapi kau tahu aku mencintaimu.”
“Kau lebih bau dari sampah-sampah mereka, Sardi.”
Sardi tetap diam dalam terlentangnya. Awan-awan mulai bergerak cepat. Seakan menghindar dari percakapan mereka. Sardi melongok ke arah kiri, tempat bertenggernya dua burung nuri yang saling menciumi sayapnya masing-masing. Dia teringat hal apa yang dikatakan Ayahnya saat itu, “Lelaki itu seperti garuda jantan, nak. Tangguh, mampu membunuh singa. Namun rapuh jika nyalinya dibunuh oleh wanita yang mengatakan, ‘kau tak lebih baik dari dia.’ Itu mengapa garuda begitu luar biasa, dan juga lelaki yang lumpuh nyalinya.”
Lagi-lagi dia menganggap Ayahnya sangat luar biasa saat itu. Namun, setelah mendengar perkataan Karmah, dia masih menganggap Ayahnya luar biasa. Tetap saja dia tidak pernah mengerti maksud yang dikatakan Ayahnya itu, semua yang dikatakannya sebelum dan setelahnya.
Dia bertanya-tanya, mengapa Ibunya bisa menikahi Ayahnya? Ayahnya tak lebih dari orang gila yang mencoba membodohi putranya yang dengan polos mengaguminya. Karmah sangat berbeda dengan Ibunya. Karmah tak pernah menelan segala perkataannya atau segala yang diujarkan, dan dikagumi atau dibencinya. Sementara Ibunya selalu tersenyum penuh cinta tanpa pilu, mendengar celotehan tolol Ayahnya yang sangat ditiru olehnya. itu mengapa dia menjuluki Karmah Si Cantik Tuli.
“Aku pernah melihat burung garuda jantan di hutan ini.” Ujar Sardi.
“Tak ada yang namanya burung garuda, terlebih jantan.” Ujar Karmah.
“Aku berkata yang sesungguhnya, Karmah cintaku.”
“Kau berkata kebohongan yang sesungguhnya, dan aku bukan cintamu.”
“Tak usah kau katakan, aku sudah tahu yang akan kau katakan.”
“Syukurlah, kau paham.”
“Tapi aku benar, aku melihat garuda jantan.”
“Baiklah, anggap aku percaya padamu,’ ujar Karmah. “Di mana kau melihatnya?”
“Di udara,” jawab Sardi. “Aku melihatnya lewat bayangan dari pantulan di perairan danau ini.”
“Kau tidak melihatnya langsung.”
“Aku melihatnya langsung. Matanya berbinar bodoh, berbibir tebal sepertiku.”
“Paruh, yang kau maksud.”
“Tidak, itu bibir. Aku yang melihatnya. Dan tolong jangan menyela perkataanku.”
“Terserah,” kata Karmah acuh. “Dan aku izin untuk pergi sekarang.”
“Mau kemana kau, cintaku?”
“Aku ada janji dengan Jack.”
“Kau ingin kencan dengannya di musim dingin seperti ini?”
“Bukan, aku punya utang janji padanya. Jika kau gagal mendapat ikan besar saat memancing kemarin, aku akan ditidurinya.”
“Apa bedanya?”
“Berbeda, penyair bodoh.”
“Aku tidak melihat perbedaan.”
“Aku hanya tidur dengannya. Tapi aku selalu berharap dapat berduaan denganmu di danau yang terlampau sepi ini.”
“Yeah, pergilah.”
“Kau tidak mencegahku?”
“Tak usah.”
“Baiklah aku pergi. Dan kuharap, kau kali ini mendapat ikan besar.”
“Itu bukan doa.”
“Yeah, memang bukan. Tapi ini impian. Selamat tinggal.”
Karmah berjalan lembut meninggalkannya. Si Penyair melihatnya, gemulai melewati lumpur di antara rawa-rawa. Dia sangat menyukai betis wanita ini, walau berdada kecil. Parasnya secantik burung phoenix yang juga pernah dia akui melihat di hutan ini padanya. Dia bangkit dari terlentangnya. Menatap joran bambunya yang melengkung dahsyat, dan tertarik. Dia menahan jorannya sekuat tenaga, dan balas menarik dengan mengangkatnya tinggi-tinggi ke arah langit yang membiru terang.
Dia bersemangat dan tak berkeringat. Bertempur dengan wajah berbinar dan mata yang berkilat-kilat. Bibir tebalnya membiru, dahinya berkerut. Dasar perutnya panas, dan dia sadar ini adalah perasaan semangat untuk menjadi pemenang. Penyair yang berharap jadi pemenang dari ikan besar yang terkait di ujung kailnya. Jantungnya berdegup kencang, memompa darah panasnya menuju otak yang membuatnya berpikir untuk berteriak keras-keras.
“Impianmu terkabul sepertinya, Karmah!” jeritnya tersenyum. “Dan sepertinya kau akan menjadi pecundang hei Si Turis Amerika sial. Nikmati cintaku selagi kau bisa. Karena dia akan menjadi syair-syair menakjubkanku nantinya. Oh, sayangku Karmah. Dan Ayah, lihat ini, aku akan menjadi lelaki bodoh dari yang paling terbodoh yang beruntung sepertimu!”
Dia mengatakannya dengan sangat cepat, namun dapat didengar jelas oleh burung garuda dan phoenix yang bertengger di pohon khayalnya. Dan terangkatlah ikan gabus besar yang terlihat tua di udara dan mengibaskan ekornya penuh kesakitan.
Sardi terus berjalan menelusuri rawa-rawa yang berlumpur dingin. Dia bisa merasakan kegetiran hatinya di lembab hutan ini. Dia menenteng ember kecil di lengan kirinya. Melewati semak-semak dan pepohonan yang basah oleh embun.
Dia merasa segar pagi ini. Sangat segar untuk memancing di danau. Bayang-bayang kenangan tadi masih saja terus melintas di benaknya. Terus memutar ulang dan tak berhenti. Dan terus terbayang wajah Ayahnya yang semangat mencelotehkan pengalaman-pengalaman tololnya yang dia anggap bodoh itu. Bahkan kini dia menjadi rindu padanya. Keriput tuanya yang makin menua setiap menceritakan kisah-kisahnya. Mulut yang bau tembakau, dan lengan kekarnya.
Kini dia mengerti, penyu tua yang terlalu muda untuk dikatakan tua, yang diceritakan ayahnya sebenarnya adalah diri ayahnya sendiri. Garuda rapuh yang lumpuh nyalinya pun juga menggambarkan dirinya sendiri.
Sesampainya Sardi di danau. Dia berjongkok di tepian. Mengambil seekor cacing hidup yang menggeliat dari ember kecil yang dibawanya. Kemudian meraih ujung benang dari joran bambu peninggalan Sang Ayah, dan menusukkan entah kepala atau ekor cacing itu, pada kailnya. Dia tak pernah tahu, yang mana kepala dan yang mana ekor cacing itu sebenarnya? Ayahnya yang bodoh pun tak pernah tahu. Hanya orang pintar yang mencari tahu itu, dan itu tak penting, pikirnya. Dia hanya berharap pada cacing malang ini dapat membawa keberuntungan, membodohi gabus-gabus tua yang tak pandai berenang di danau sepi ini.