12 Apr 2012

Lelaki

  Petang yang buta di sisi jalan bukit yang menurun sangat sunyi. Hanya angin yang bertiup kencang dan berdesau menggesek pepohonan pinus yang tumbuh menjulang dari puncak hingga kaki bukit. Seekor burung hantu bertengger pada dahan, dan terdengar seperti mengigau. Hutan begitu lembab basah, beberapa jam yang lalu hujan ringan mengguyur hingga desa yang ada di bawahnya.
   Jika menuruni bukit menuju timur akan menemukan sebuah desa tenteram dan hangat. Desa dengan sedikit penduduk manusia yang kebanyakkan sebagai petani dan peternak. Jika menuruni bukit menuju barat, akan menemukan sungai kecil. Di dekat sungai itu terdapat mata air jernih yang juga mengalir dan membaur dengan sungai yang bening keabu-abuan. Ikan-ikan air tawar sangat berlimpah di sana, dan udang-udang pun cukup gemuk. Surga untuk pemancing dan mengadu peruntungan.
   Desa terlalu sunyi, setelah hujan membasahinya. Terkecuali di salah satu pondok kecokelatan di dekat sudut ladang sawah. Lampu telah terang walau petang masih cukup terang. Di luaran teras pondok terdapat lima pasang alas kaki yang kotor oleh lumpur. Sepasang ada yang lebih kotor, alas dari karet ban kehitaman yang menggambarkan lumpur cokelat kemerahan yang menempel dan ada daun pinus tersemat di antara lumpur berasal dari bukit.
   “Sudah boleh dimakan, Nyonya Rose?” ujar seseorang dari dalam pondok. Terdapat meja dari kayu rotan tua berwarna cokelat kehitaman, memanjang di tengah ruangan. Di atasnya tersaji berbagai masakkan. Nyonya Rose nampak sibuk memotong dan mengiris ayam hutan yang dibakar dengan kecap manis dan taburan lada hitam pada enam piring porselen. Kemudian membagikannya pada keenam anak yang telah duduk rapih. Tiga anak duduk di sisi kiri dan tiga anak lainnya duduk di sisi kanan.
   “Oke,” ujar Nyonya Rose. “Sebelum makan kita berdoa. Oh ya, sayang buat permintaan dulu.”
   “Ya, ya, buat permintaan, Nasha!” ujar salah seorang anak kurus dan bertubuh tinggi.
   “Ya, ya, buat permintaan, Nasha!” ujar anak lain yang duduk di sebelahnya mengulang. Mereka nampak mirip, serupa, dengan tinggi yang sama. Hanya bintik di wajah pada salah satunya yang membedakan dengan anak satunya yang tidak memiliki bintik.
   “Aku malu kalau harus di ucapkan, bu,” ujar anak perempuan yang duduk di sebelah kanan Nyonya Rose dan di sebelah si kembar. Dia bernama Nasha, berparas cantik, dengan rambut hitam panjang yang pekat, beralis hitam tipis, mata bulat kecil, bibir tipis memerah, dan pipi yang merona setelah didandani Nyonya Rose selama sejam lebih. Dia mengenakan gaun biru, yang membuatnya nampak sepeti bidadari langit tersesat setelah hujan mengguyur, anak perempuan yang cantik, setidaknya itu yang terpikir di benak seorang anak lelaki yang sedari tadi menatapnya diam-diam sejak duduk di kursinya.
   “Tak usah malu,” ujar seorang anak yang terlihat lebih rapih dengan kemeja hitamnya dan tampan karena rambut klimis menyampingnya. Anak itu mengucapkannya tanpa menoleh dari wajah Nasha dengan seksama, dan penuh kasih sayang.
   “Katakan, Nasha,” ujarnya lembut.
   “Kami ingin mendengarnya,” ujar anak perempuan bertubuh kecil yang duduk disebelahnya dan anak lelaki yang tertunduk diam tak bicara sedari tadi.
   “Ayo katakan, sayang,” ujar Nyonya Rose lembut membelai rambut Nasha yang menunduk malu.
Nyonya Rose bertubuh gemuk, berwajah kemerahan, dan berhidung mancung seperti putrinya. Nasha memiliki mata yang sama dengan Nyonya Rose, dan Nyonya Rose sama cantik dengannya. Nyonya Rose memiliki darah Belanda.
   “Ngg, aku ingin...,” ujar putrinya menunduk malu. “aku ingin menjadi pengantin yang cantik dan menikah di istana megah.” Nasha tersenyum lembut, wajahnya memerah walaupun sudah memerah. Nyonya Rose tersenyum dan membelai rambutnya lagi.
   “Semoga terkabul, sayang,” ujarnya.
   “Semoga terkabul!” ujar semua anak mengamini, terkecuali anak lelaki yang diam hanya tersenyum dan menatap Nasha tak berkedip.
   “Ya, kita makan sekarang, anak-anak,” ujar Nyonya Rose.
   “Aku sudah lapar sekali,” ujar salah seorang si kembar.
   “Aku dapat bagian paha, Rud,” ujar kembarannya.
   “Aku paha kirinya, Ted,” ujar yang wajah berbintik.
   “Maaf, Nyonya Rose,” ujar si anak tampan menyela sopan. “Boleh aku memberi hadiah untuk Nasha?”
   “Oh, ya,” jawab Nyonya Rose.
   Si anak tampan memberikan bungkusan kotak dan setangkai bunga di atasnya pada Nasha. Dan mengucapkan selamat ulang tahun padanya dengan lembut dan penuh kasih. Nasha wajahnya semakin merona, saat si tampan menjabat tangannya. Anak lelaki yang diam tidak melihatnya, bukan, ia hanya tak berani melihatnya, dan tertunduk menatap piring porselennya.
   “Terima kasih,  Ed,” ujar Nasha membalasnya penuh kasih. Edie si tampan tersenyum manis dan terlihat bahagia mendengarnya.
   “Kau romantis, Ed,” ujar si kembar yang berbintik.
   “Ya, kau romantis, Ed,” ujar si kembar lainnya. Ed tertawa kecil, Nyonya Rose hanya tersenyum, si gadis kecil tertawa, Nasha tertawa dengan wajah menyenangkannya, si anak lelaki yang diam tersenyum kecil menatap Nasha dan memalingkan lagi pandangnya pada piring poreselen kesayangan Nyonya Rose.
   Mereka menyantap masakkan yang di buat Nyonya Rose. Nyonya Rose sangat pandai memasak. Si kembar makan sambil tertawa, dan membuat lelucon, atau mengejek Ed yang menaruh rasa pada Nasha. Si gadis kecil bernama Helen tersedak tertawa. Ed hanya tersenyum dan tak pernah melepas pandangnya dari Nasha. Nasha hanya berani sesekali membalasnya, dan merona. Nyonya Rose hanya melihat mereka, bahagia melihat putrinya kini berusia tiga belas tahun tertawa dengan teman-teman sebayanya. Si anak lelaki yang diam tetap diam dan terkadang tersenyum, lalu mencuri pandang dengan cepat menatap Nasha. Itu keahliannya, menatap gadis yang berulang tahun itu secara diam-diam. Kedua bola matanya memiliki kelebihan dalam hal itu, juga ketika memancing dan menangkap belalang.
    Ia sangat menyukai wajah gadis itu, dan tak henti-hentinya mengagumi rambut dan mata gadis itu dalam benak. Ya, hanya dalam benak, dan membatin juga berkhayal. Celana panjangnya sedikit kotor oleh lumpur setelah penuh semangat menuruni bukit. Setibanya di sini, hanya kecut diam, mencuri pandang. Namun itu cukup membuatnya bahagia, puas tak kepayang melihat gadis itu tersenyum.
   Dadanya sempat merasa tertusuk ketika Ed memberi gadis itu hadiah dan bunga. Sempat dalam batin ia menyesal telah datang. Kini, ia mencoba melupakannya, namun dadanya tetap sesak. Otaknya tak mampu berpikir jernih. Dalam saku celananya terdapat kotak yang berisi kalung. Kalung yang ia buat sejak seminggu sebelum hari ini dari akar-akar pepohonan. Dibuat penuh kasih dan harap, untuk gadis itu. Tapi ia terlalu kecut tuk memberinya, nyalinya jatuh melihat Ed, hatinya terasa rapuh. Kedua matanya seakan melukiskan kekalahan dengan senyum paksanya.
   “Dirga,” ujar Nyonya Rose padanya. “Kenapa diam saja, sayang?”
Dirga terjaga dari dunia benaknya. Menengadah wajahnya pada Nyonya Rose. Ia mencoba tersnyum, dan sempat menoleh pada gadis itu.
   “Eh, iya maaf,” ujarnya.
   “Apa kamu sakit, nak?”
   “Tidak kok, Nyonya Rose,”
   “Lantas?” tanya Nyonya Rose. Semua terdiam melihat Dirga.
   “Aku tidak apa-apa, Nyonya Rose,” ujarnya terdengar bergetar.
   “Apa ada sesuatu yang ingin dikatakan, nak?”
   “Mungkin kamu kekenyangan,” ujar si kembar berbintik membuat lelucon, namun tak ada yang tertawa.
   “Mungkin kamu rindu ayahmu,” ujar si kembar lainnya mencoba lelucon lain.
   “Ah, tidak ada, Nyonya Rose,”
   “Kamu kenapa, Dirga?” tanya Nasha padanya.
   Dirga bergetar, jiwanya merasa bergelora mendengar gadis itu berkata padanya, dan mengacuhkan Ed yang menatapnya datar.
   “Kamu ini kenapa?” tanya Helen si gadis kecil menyiku bahunya.
   “Aku tidak apa-apa kok, maaf,”
   “Oh ya,” ujar Nyonya Rose lembut. “Bagaimana kabar ayahmu, nak?”
   “Dia baik-baik saja, Nyonya Rose,” jawab Dirga.
   “Apa yang dikerjakannya sekarang?”
   “Masih memotong kayu,”
   “Dan memancing,” ujar si kembar Ted.
   “Juga berburu,” sambung si kembar Rud.
   “Oh,” ujar Nyonya Rose tersenyum padanya.
   “Oh iya, Dirga,” ujar Nasha tersenyum. “ajak aku memancing di sungai kapan-kapan ya.”
   Entah apa yang dirasakan ia mendengar gadis itu meminta padanya. Ia hanya diam kaku melihatnya. Sesak di dadanya punah seketika, darah mengalir deras menuju kepalanya, perutnya merasa hangat. Ia bahagia.
   “Oh iya, Nyonya Rose,” ujar Helen. “Lusa giliran Dirga berulang tahun.”
   “Wah, benarkah?” ujar Nyonya Rose sumringah.
   “Iya, bu,” ujar Nasha juga sumringah. “Lusa dia yang ulang tahun.”
   Ed tetap diam dan melihat Nasha yang nampak simpatik pada anak lelaki itu. Ed seperti tidak suka mendengar gadis itu mengatakannya.
   “Wah, selamat teman!” ujar si kembar bersamaan.
   “Apa akan dirayakan?” tanya Ed datar.
   “Ngg, sepertinya tidak,” jawab Dirga.
   “Kenapa tidak?” Nasha bertanya heran, namun lembut.
   “A, ayah tidak suka pesta,”
   “Oh,” ujar Ed tetap datar.
   “Sayang sekali,” si kembar Rud menyayangkan.
   “Oh iya,” uajr Nasha senyum semangat. “lusa ajak aku dan Ed ke sungai ya, Dirga. Kamu pernah bilang ada mata air jernih di sana. Ajak aku ya, Ed juga.”
   “Kami tidak di ajak?” si kembar menyela.
   “Jangan. Aku ingin bersama Ed saja. Bolehkan, bu?
   “Curang, dasar kalian kasmaran,” ujar si kembar bersamaan dan tertawa.
   “Ya, tapi hati-hati,” ujar Nyonya Rose.
   “Senangnya,” gadis itu berkata dengan senyum manisnya. “kamu mau kan, Dirga?”
   Rasa bahagia anak lelaki itu tersapu seketika. Entah, namun dadanya kembali berat. Tubuhnya bergetar, matanya nampak kecut. Lidahnya beku, sulit berkata.
   “I, iya boleh, kok,” ujarnya merasa getir.
   “Wah, terima kasih!”
   Ed menatapnya penuh kemenangan. Dirga kembali menatap piring porselen di hadapannya. Ia merasakan sesuatu yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Seperti inikah menjadi lelaki, ia membatin. Rasa apa ini, dadaku sesak. Ia menerawang wajah ayahnya pada permukaan piring porselen yang kotor dengan sisa makannya yang tak habis. Wajah ayahnya yang tanpa ekspresi, dengan rahang besar dan berkerut. Pundak yang besar, pondasi kokoh menahan jiwa yang tak pernah ia ketahui apakah pernah merasakan apa yang ia rasakan juga. Hanya, di matanya, ayahnya seorang yang tangguh pendiam bertubuh tinggi. Tidak pernah tahu apakah ayahnya juga pernah rapuh seperti ini. Ayah. Ia ingin mengadu padanya.
   Mentari semakin tenggelam dari balik bukit. Pesta telah usai dengan ciuman pada kening Nyonya Rose oleh Nasha. Kelima anak itu berpamitan, meninggalkan pondok. Dirga mengenakan sandal kotornya, si kembar tak henti-henti mengagumi masakkan Nyonya Rose, Helen si gadis kecil memeluk Nasha dan pamit pada Nyonya Rose, Ed si tampan menjabat lengan Nasha dan mengulang ucapan selamat ulang tahun padanya. Dirga mengalihkan hal tersebut pada si kembar yang lebih dulu meninggalkan pondok sambil bercanda.
   Dirga tak cukup berani berkata sepatah pun pada Nasha, dan hanya memandangnya. Gadis itu membalas dengan senyum lembutnya, Ed tidak melihat hal itu. Mereka berpisah di tengah jalan, Dirga melewati tepi ladang jagung menuju bukit. Ia melihat Ed berjalan tegak dari arah yang berlawanan, kemudian memalingkan matanya pada pondok hangat tempat Nasha bersama Nyonya Rose bernaung bahagia di dalamnya. Merogoh saku celananya merasakan kalung tuk Nasha dengan telapak lengannya. Dadanya bergetar.
   Ia menyusuri kaki bukit, melewati pepohonan pinus yang hangat. Jalan setapak yang lembut, dengan tanah yang gembur, dan mentari masih cukup terang untuk mendaki bukit. Ia melihat burung hantu yang masih tertidur sejak menuruni bukit tadi, ia ingat betul tempat dan posisi tidur burung hantu itu masih sama dengan yang ia lihat sebelumnya. Pemalas, ia membatin, tapi kau hebat.
   Ia telah sampai pada puncak bukit, terdapat pondokan kecil yang terang dengan lentera di dalamnya, dan lentera padam yang tergantung pada tiang pondasi. Beberapa tumpukkan kayu yang telah dikuliti berjejer rapih di samping kiri pondok, dengan kapak besar tertancap di atas salah satu tumpukkan. Ia menaruh sandal kotornya di samping luar pintu. Ia melihat ayahnya yang sedang duduk di kursi goyangnya sambil membaca koran. Kopi susu hangat di meja sebelahnya. Di depan ayahnya, pelita telah menyala dengan api kecil, namun hangat.
   “Bagaimana pestanya?” ujar ayahnya tanpa melihat. Wajahnya terbenam dalam koran yang direntangkan.
   “Menyenangkan,” jawabnya datar, sambil membuka kemeja. Kemudian mengenakan kaus tebal yang tergantung pada dinding pondok.
   “Kau lapar?”
   “Tidak, tadi Nyonya Rose memasak.”
   “Minumlah susumu.”
   “Aku terlalu kenyang.”
   Sang ayah melihatnya dari balik koran. Melipatnya dan memandang ia. Wajahnya yang cekung tak berekspresi. Memandangnya cukup lama, dan si anak hanya diam duduk menatap lurus pada lantai.
Dia bangkit dari kursi goyangnya, mengambil potongan kayu dan memasukkannya pada pelita dengan apinya yang mulai mengecil. Meniupnya beberapa kali hingga api membesar.
   “Hangatkan tubuhmu,” ujarnya pada si anak.
   Dia menatap putranya masih tetap lurus memandang lantai tak berkata. Bayang anak itu terlukis pada dinding pondok. Angin mendesau di luar pondok, dan langit mulai gelap. Suhu di puncak bukit pun membeku. Si anak masih tetap diam dalam pandang kosongnya, menerawang jauh dalam dunia benaknya. Ayahnya terpaku menatapnya. Menutup pintu pondok dan beberapa jendela. Memanaskan air dengan termos yang digantung di atas api pelita. Menuangkan susu bubuk ditambah beberapa sendok gula.
   Menunggu termos berbunyi, kemudian kembali menatap kaku anaknya yang tetap dalam keadaan sama. Meniup perapian, dan menatapnya lagi.
   “Kau akan baik-baik saja,” ujarnya pada si anak. Si anak tetap diam tak bergerak. Hanya deru napasnya yang terdengar. Tiupan angin semakin kencang di luar pondok. Jerit burung hantu terbawa olehnya, mungkin hanya igauan si burung hantu di hutan sana.
   Sang ayah melihat keadaan di luar pondok lewat jendela, memastikan tidak terjadi apa-apa pada tumpukkan kayunya. Si anak terus berdiam tak berkata. Ayahnya kembali menatapnya, melihat matanya yang lurus tajam memandang lantai.
   “Ayah,” ujar si anak memulai bicara namun tetap memandang lantai. “apa aku akan baik-baik saja?” Ayahnya menatap dalam padanya. Dahinya berkerut penuh kasih melihatnya.
   “Ya, kau akan baik-baik saja,” ujarnya datar dengan suara berat.
   “Apa ayah yakin?”
   “Tentu,”
   “Aku tidak yakin,”
   “Aku tahu,”
   “Apa aku akan baik-baik saja setelahnya?”
   “Tentu,”
   “Aku tidak yakin,”
   “Itulah lelaki,” ujar ayahnya, meniup perapian.
   “Apa harus seperti ini yang dinamakan lelaki?” si anak bertanya, dan mulai mengalihkan pandangnya pada tubuh sang ayah yang besar sedang berjongkok.
   “Selalu,”
   “Oh,” ujar si anak. Kemudian ia mulai kembali menatap lantai dan diam tak bergerak.
   Angin terus bertiup kencang. Membuat si burung hantu di hutan sana membeku. Daun pepohonan pinus saling bergesekkan. Api lentera di luar pondok yang tergantung padam, diam membisu sama halnya dengan sandal kotor yang tergeletak di sebelah kalung akar pepohonan yang dijatuhkannya.

1 komentar:

ao_shy mengatakan...

saya jadi ingat taruhan itu :D