26 Agu 2012

Sampul Kecemasan

Sardi menanggalkan sepasang sandalnya, melemparnya ke bawah. Menggeser tangga lebih ke pinggir dan menyandarkannya. Ia melihat ke atas langit yang berawan, matanya menyipit silau. Butuh beberapa saat untuk menemukan layang-layang yang diterbangkan Ayahnya itu. Sudah sangat tinggi, terlalu tinggi. Layang-layang itu nampak kecil di langit yang mulai jingga kemerahan di antara kepulan awan abu-abu yang membuyar.
“Lamanya,”
“Heh, susah mencarinya. Semua orang di sini sepertinya sudah berhenti merokok, Yah.”
“Kau cari di mana?”
“Tiap warung,”
“Bodoh, kau tidak cari di warung Kang Tunya?”
“Ini, aku akhirnya dapat di sana.” Sardi merogoh sakunya, mengeluarkan 12 batang rokok yang dibungkus plastik bening lecak.
“Cuma di sana kau bisa dapat rokok.”
“Menyebalkan tiap ke warungnya, Yah.”
“Karena dia tuli,”
“Kurasa dia juga pikun, agak pikun.
“Dia satu-satunya orang di desa ini yang aku suka. Selain kau, dan Ibumu.”
“Ya, tapi dia menyusahkan. Pantas banyak yang emoh belanja atau sekedar minum kopi di warungnya.”
“Dia hanya terlalu banyak berpikir, dulu dia suka menghitung dan menebak angka untuk judi, sebelum tuli. Dia jenius, kau tahu?”
“Orang jenius selalu merepotkan.”
“Begitulah. Tapi aku suka tiap sekedar merokok dan mengopi di warungnya, di sana nyaman. Dia teman bicara yang menyenangkan, yah walaupun dia tidak bicara, bisa dibilang tidak tahu apa yang dibicarakan. Istrinya yang lebih tua renta selalu tersenyum dan menyajikan pisang goreng, terkadang pisang rebus, yah tak jarang ubi merah rebus. Di sana nyaman.”
“Bagaimana anginnya?” Tanya Sardi mengalihkan pembicaraan soal Kang Tunya yang tuli.
“Masih stabil, angin bertiup rendah.” Jawab si Ayah.
“Terlalu stabil, ini sudah menjelang sore akan mati.” Ujar Sardi sembari menutupi api korek dengan telapak lengannya, dan menyalakan rokok.
Si Ayah melakukan hal yang sama sembari menahan benang kenur di antara jemarinya. “Kenapa kau selalu menyebutnya begitu?” ujarnya yang nampak nikmat menyesap asap rokoknya.
“Bukannya memang seperti itu,” jawab Sardi yang terlihat sama nikmat dengannya.
“Aku selalu ingin tahu kenapa kau terus menyebutnya begitu,”
“Itu sebutan yang bagus menurutku, lagipula cocok untuknya.”
“Itu sebutan yang menyedihkan bagiku.”
“Tidak terlalu menyedihkan jika dibanding sebutan Ayah untuk janda bisu itu.” Sardi tersenyum kecil, kemudian menyesap rokoknya. Si Ayah memandangnya tanpa wajah beraut.
“Sebutan itu cocok dengannya, dia seperti wujud kesedihan.” Ujarnya, dan sibuk menyeimbangkan kenur layang-layang.
“Aku masih ingat, soal dia,” ujar Sardi dengan kepulan asap dari mulutnya. “Di pagi buta dia selalu duduk di teras seorang diri, ketika tengah malam dia duduk kembali di teras seorang diri, rambutnya selalu disisir rapih dengan lapisan bedak yang tak terlalu tebal di pipinya yang merona. Dia gila.”
“Dia menunggu suaminya,”
“Lelaki bodoh mana yang pergi meninggalkan wanita setia seperti dia. Orang itu pasti buta.”
Si Ayah tidak menyahutnya. Dia tidak ingin membicarakannya, tidak sekarang. Sardi duduk bersandar, menekuk kaki kanannya dan menyilangkan kaki kiri di atasnya. Punggung lengan kirinya dijadikan bantalan di kepalanya. Berusaha mendapatkan posisi yang nyaman. Si Ayah tetap sibuk mengendalikan layang-layang.
Dari atap rumah itu, mereka bisa melihat jelas matahari tenggelam di balik bukit di sana. Karena dari tempat mereka berada menghadap lurus tepat ke arah bukit. Tempat yang nyaman dan hangat untuk melihat Sang Surya mati tertelan waktu.
Sardi menghisap rokoknya. Melayangkan pikiran di benaknya. Ia mencoba memikirkan Si Janda bisu itu. Kemudian memikirkan Ibunya, lalu mendoakannya. Memikirkan beberapa temannya, tidak banyak yang dapat dipikirkannya, hanya beberapa teman. Mereka teman-teman yang menyenangkan. Memikirkan hutan dan arus sungai tempatnya dulu bermain. Memikirkan ia bersama teman-temannya di sana, tak banyak teman yang dapat dipikirkannya. Kembali Ibunya muncul dipikirannya, lalu mendoakannya lagi. Sekarang ia membayangkan wujud burung wallet, ia tidak pernah melihat burung wallet, dan ia tidak bisa membayangkannya. Ia lalu berdoa agar dapat melihat burung itu suatu waktu. Angin berkesiur menyejukkan telapak kakinya, ia menarik napas panjang mencoba merasakan aromanya. Melihat layang-layang yang agak menukik yang diterbangkan Si Ayah. Ia membayangkan terbang seperti layang-layang, beradu balap dengan burung wallet. Tidak, ia tidak pernah melihat burung wallet. Ia membayangkan terbang beradu balap dengan seseorang. Dan kini ia mencoba membayangkan seseorang,membuat perutnya panas naik hingga rongga dada, ia membayangkan hal yang membuatnya mual dan kesal. Ia memalingkan pikirannya dengan melihat Ayahnya yang tetap mematung memainkan layang-layang sembari menyalakan rokok yang baru. Ia melihat wajahnya yang menghalangi cahaya, terlihat seperti siluet. Hidungnya yang mancung besar terbentuk jelas dengan asap yang mengepul di hadapannya. Ia memikirkan Ayahnya kini, mencoba membayangkan masa dahulu Ayahnya. Tetapi Ibunya kembali muncul dipikirannya, lalu mendoakannya kembali.
Ia memandang kearah bukit, kemudian menghela napas panjang. Jantungnya berdegup kencang, dan tersenyum. Pepohonan yang menghijaui bukit, angin meniupnya membuatnya nampak menari. Senja mulai muncul menyirami bukit dengan cahayanya yang kuning kemerahan. Hal yang lama tak kunikmati, ujarnya dalam hati.
“Kau bisa melakukan ini,” ujar Si Ayah yang membuatnya tersadar dari pikirannya.
“Hah?” sahutnya.
“Manuver menukik yang tajam,”
“Itu bukan manuver, angin yang mendorongnya.”
Si Ayah tertawa, menarik kenur dengan cepat. Melempar kaleng susu bekas yang agak berkarat untuk menggulung benang.
“Gulung itu,” suruh Si Ayah.
Sardi menggulungnya, kenur bening kehijauan. Melihat Ayahnya yang cekatan menarik kenur menurunkan layangan.  Layang-layang mulai nampak membesar dalam jarak beberapa puluh kaki di udara. Si Ayah memutuskan kenur dengan menyulutkan bara api rokoknya, Sardi melihatnya heran
“Buat apa kugulung,” ujarnya. “kenapa diputus?”
“Dia ingin terbang bebas di udara,” ujar Si Ayah. “aku ingin sisakan beberapa meter kenurnya untuk memancing.” Sardi selesai menggulung. Si Ayah menyesap rokoknya, dan nampak terkagum melihat layang-layang itu terbang menjauh. Menjauhi bukit.
“Sudah kau gulung?” tanyanya.
“Sudah,” jawab Sardi. “sepertinya tidak cukup untuk memancing.”
“Sungai itu dangkal, tak perlu kenur yang terlalu panjang.”
“Bukan, maksudku tidak cukup untuk dua orang yang memancing.”
“Kau mau ikut?” ujar Si Ayah senang, kemudian duduk di sebelah putranya. “Kukira kau sudah lupa cara memancing.”
“Ya, aku sudah lupa,” ujar Sardi. “lupa kalau Ayah selalu kalah
Si Ayah tertawa kecil. Kemudian duduk di sisi putranya. “Memancing bukan soal kalah atau menang, Nak. Ini soal keberuntungan.”
“Ya, begitulah. Ayah selalu kalah soal keberuntungan.” Mereka tertawa kencang dengan nada rendah. Angin berkesiur seakan membawa jauh tawa mereka.
Hari semakin sore. Matahari nampak makin menurun dari langit. Dalam beberapa saat mereka berdiam. Memandang lurus bersama kearah bukit.
Sardi alihkan pandang pada wajah Ayahnya yang duduk memeluk lutut satu kakinya. Beberapa detik, dan memandang kembali pada bukit. Kemudian memikirkan suatu peristiwa yang tidak ingin ia pikirkan. Ia merasa muak, mencoba membuang pikiran itu. Memandang kembali wajah Ayahnya, yang balik memandangnya tersenyum.
“Ada apa, Yah?” tanyanya.
“Apa?” ujar Si Ayah.
“Apa yang Ayah cemaskan?”
“Maksudnya?” Sardi memandangnya lebih dalam kini. Mata cokelat besarnya dan pipinya yang kurus cekung.
“Tidak, tak ada apa-apa.”
“Kenapa?” Ayahnya balik bertanya. “Kau ada masalah apa?”
“Tidak, ng.. maksudku, Ayah seperti sedang memikirkan sesuatu.”
Si Ayah tertawa kecil. “Apa bahasa tubuhku terlihat seperti itu?”
“Tidak tahu. Hanya merasa.”
“Lalu apa yang kau cemaskan, Nak? Kau terlihat cemas, dan itu nampak jelas.”
“Aku tidak merasa cemas. Ya, walaupun cemas, aku mencemaskan kau, Yah.”
“Tidak ada yang perlu dicemaskan dariku. Ada masalah apa sebenarnya?”
“Ng, Ayah, kau tahu. Aku tidak suka senja sore, seperti ini.”
“Aku tahu. Itu salah satu yang kucemaskan darimu.”
“Ya, jika melihatnya, aku merasa muak. Selalu teringat wanita itu.”
“Siapa?”
“Karmah.”
“Dia terlalu cantik untuk dimuaki.”
“Tidak, bukan. Aku meninggalkannya tepat saat waktu seperti ini, dan aku muak mengingatnya.” Sardi mengernyitkan dahinya, dan merasa muak pada dirinya sendiri. Bukan, ia hanya tidak ingin membenci Karmah karena penyesalannya. Ayahnya melihat tajam padanya.
“Itulah lelaki, Nak,” ujar Si Ayah. “Lemah terhadap perasaannya, tapi ingat ini. Terkadang itu dapat menarik di mata wanita, sebagian wanita.”
“Seperti Ibu?” tanya Sardi tersenyum.
“Begitulah, Ibumu menyukai lelaki payah.”
“Kurasa Ayah lelaki beruntung yang ada.”
Mereka tertawa kembali. Entah menertawakan apa, terdengar seperti menertawakan diri sendiri yang merasa payah.
“Aku pikir kau pun akan begitu,” ujar Si Ayah dengan masih tertawa kecil. “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.”
“Aku,” ujar Sardi sama masih dengan tawa kecilnya. “aku buah yang tak pernah jatuh dari pohonnya.”
Tawa mereka berlanjut. Dan itu sudah cukup untuk meriuhkan petang yang sepi ini, tapi tidak cukup lama untuk menghabiskan waktu menunggu senja tenggelam sepenuhnya. Mereka tertawa singkat. Sesaat mereka berdiam kembali. Memandang bukit yang memunggungi mentari senja.
“Lalu apa yang kau cemaskan, Yah?” tanya Sardi memulai bicara kembali.
“Aku merindukan Ibumu.” Jawab Si Ayah. Sardi memandang matanya yang lurus tajam menatap bukit. “Aku juga sama denganmu, tapi aku tidak muak, hanya merasa rindu jika memandang senja seperti ini.”
“Mungkin Ayah harus menikah.”
“Lagi? Tidak, aku terlalu mencintai Ibumu.”
“Mungkin dengan Janda bisu itu.”
“Tidak, tidak akan mungkin. Aku hanya kagum padanya.” Sardi tetap memandang wajah Ayahnya dalam diam.
“Ya, benar,” ujarnya. “Kurasa Ayah tidak cocok dengannya, kalian terlalu dalam terbelenggu masa lalu, maksudku cinta sejati.”
“Bukan, kau salah,” ujar Ayahnya. “Aku hanya senang dengan kesendirian sekarang, terkadang sakit karena memutar kenangan kembali, terasa nikmat.”
“Ayah benar, itu mengapa banyak orang yang sudah tahu rasa sakit karna teringat kenangan tapi mereka tetap mengingatnya.”
“Karena mereka  tahu rasa sakitnya begitu terasa nikmat.”
Mereka saling memandang dan tersenyum kembali. Angin bertiup semakin kencang. Langit memerah kekuningan. Lima ekor burung terbang melintas di atas bukit yang terhias oleh senja.
Sardi memandang bukit lebih nyaman. Ayahnya menyalakan rokok kembali. Angin berkesiur kencang menggoyangkan pepohonan yang menimbulkan bunyi-bunyi gesekkan yang terasa menenangkan.
Senja, ujar Sardi membatin. Senja nampak seperti, kehampaan, kesedihan. Warna yang memilukan. Bentuk yang mengagungkan dan menyedihkan. Dunia akan merasa kehilangan penerangnya untuk beberapa jam. Apa dunia akan merasa kesepian tanpanya? Dunia masih memiliki bulan. Bulan, bulan hanya kotoran kecil. Wujud ilusi kesepian itu sendiri, lebih memilukan. Yang menakjubkan terkadang selalu yang memilukan, yang memilukan terkadang selalu yang menakjubkan. Seperti Ayah yang takjub  pada Kang Tunya tuli dan Janda Bisu itu, terutama Ibu. Dan seperti diriku yang takjub pada Ayah.
“Kau lihat senja itu?” Si Ayah berkata.
“Ya,” jawab Sardi yang kini duduk bersila.
“Tuhan itu seniman, Nak,” ujar Si Ayah sembari memandang kagum. “saban sore Ia selalu melukis dunia dengan warna-warna mengharukan seperti itu.”
“Saban malam Ia membentuk pola lingkar dan banyak noda titik dengan warna jingga pucat di kanvas gelap,” ujar Sardi meneruskan.
“Aku tahu, itu bulan dan bintang.” ujar Si Ayah tersenyum.
Mereka saling menatap satu sama lain, kemudian tertawa kecil kembali, tapi terdengar cukup keras.
Langit semakin memerah menuju gelap. Di waktu ini angin akan bertiup dari arah bukit menuju ke bawah. Membawa sejuk dan aroma juga tawa cemas mereka.