11 Sep 2012

Pasir Putih (...Bulan Menari)


Tergenang hanyut, sebuah sandal, mengambang dalam alunan lembut arus laut.

Hei, ini kan waktunya bulan purnama muncul ! Bagaimana bisa ombak tak pasang, samudera tak menggebukan amarahnya? Lihat, begitu tenang ombak mencium bibir pantai.

Berjuta-juta plankton menjadi bintang bersinar di permukaan lautan, seperti berjuta-juta kunang-kunang terbang rendah di udara malam. Kasihan si sandal, berenang putari samudera hangat sendirian.

“Kau sedang mencari pasanganmu, sandal? Kasihan kau, pucat sudah dan mengkerut kau. Kemari, menepi saja di pasir putih sini. Kan kupungut kau, niscaya kau berguna melindungi alas kakiku walau hanya sebelah.”

Sandal yang sepi. Ditinggal pasangannya, mungkin dia selingkuh dengan dewa lautan. Apa gunanya hanya sebelah sandal? Seperti manusia dengan bayangan tanpa lengan.

Dewa bodoh!
Pasangan sialan!

“Tenanglah, sandal. Aku ada untuk jadi bayanganmu. Kenapa? Karena bayanganku sudah ditikam ‘dia’ di masa lalu. Baik-baiklah denganku.”

Seekor penyu. Kulihat seekor penyu. Susah payah dia merangkak dari bibi pantai. Besar, cukup besar dia. Mungkin 50 tahun, atau mungkin 100 tahun dia berusia. Tua sekali wajahnya, merangkak saja susah. Jejak halus rangkaknya, membekas panjang di atas pasir putih halus ini. Menjauhi semburan ombak di bibir pantai. Kerutan disekitar leher hingga wajahnya tergambar tua, seperti memamerkan rasa iba dan wajah kekalahan. Tempurung keras yang konon abadi, terlihat rapuh dan retak. Tapi retakkan yang tidak terlihat baru. Mungkin dahulu sehabis bertarung dengan hiu atau hukuman dari dewa lautan. Gali dalam, dia menggali dalam pasir putih.

Oh, aku tahu ! Dia ingin bertelur.

“Hei, kukira kau penyu pejantan. Pejantan sepi. Sedang apa kau betina rapuh? Mari kesini, ikut denganku duduk hangat di pasir putih ini sama si sandal !”

Hei, tunggu!
Kenapa dia mengacuhkanku?

“Penyu bodoh, jawablah aku!”

Ah, penyu sialan kau!

“He bocah dungu!”

siapa? siapa itu?
Jerit kencang, menghinaku!

“Dia bukan ingin bertelur, bodoh ! Dia ingin mengubur dirinya, dia sudah terlalu tua untuk arungi samudera !”

Paus besar tergeletak di bibir pantai. Ujung ekor hingga wajahnya mengkerut pucat. Bola mata hitam yang hampir tertutup oleh kematian. Berusaha menunjukkan wajah kesal, namun tertikam kesedihan.

“Ah, kau paus gila ternyata ! Maaf aku lupa hadiranmu, tuan paus. Kukira dia ingin bertelur, tuan.”

“Hah, dasar dungu! Lihat baik-baik ekor dan matanya. Dia pejantan.” Kata si paus malang

“Eh! Benar, dia bukan betina. Ternyata dia pejantan lemah! Hei, maafkan aku penyu sial. Kukira kau betina.”

“Kau ini bocah merepotkan, eh. Bicara sendiri sedari tadi. Sandal bau kau pungut dan diajak bicara. Penyu jantan bisu, kau hina. Kau ini sedang apa, eh bocah?”

“Heh, bukan urusanmu paus gila!”

“Kau ini benar-benar menyebalkan, eh. Terlalu muda kau, disini sendirian menikmati sepi. Kau ingin mati, eh?”

“Tidak, aku tak ingin mati. Apalagi disini. Pasir putih ini terlalu bersih untuk bunuh diri, tuan paus gila.”

“Lantas ?”

“Hanya menunggu si nona. Aku menunggu si nona bulan. Dia ingin menari malam ini. Dan ingin kunikmati. Apa kau juga ingin ikut nikmati, paus gila? Yeah, silahkan mari samasama nikmati.”

“Nona bulan? Menari? Kau ini gila, eh bocah! Pergi, kau mengotori pantaiku dengan halusinasi tololmu!”

Kau yang gila, eh paus!
Terdampar di sini, dengan baumu yang amis perlahan busuk.
Kau yang mengotori pantaiku.

“Heh, sudah kubilang bukan urusanmu! Ini pantaiku!”

Eh, dia diam. Tidak membalas lagi. Heh, memang dia gila. Mungkin sepi sudah membungkamnya. Ini pantaiku, paus gila. Dan sepi adalah temanku.

Oh, malam makin lembab saja. Namun nona bulan belum nampak. Mungkin sedang mempercantik diri.

Bosan!

Merebahkan diri sudah lelah. Si sandal diam saja, tak berkata. Si penyu mungkin sudah berada di surga atau mungkin tersesat di neraka, dia kan bodoh. Aku sungguh bosan merana. Sepi mulai berkhianat, sepertinya…

“Hei tuan paus ? Telah berapa samudera yang kau arungi ?”

Kenapa dia tak menjawab lagi? Jadi bisukah dia? Heh, sepi sudah membuatnya bisu. Bodoh, kenapa malam ini aku ditemani kawankawan yang bodoh.

“Hei, paus gila ! Aku tanya pada kau ! Jangan kau acuhkan !”

Paus gila, sepertinya dia sudah mati begitu saja. Makhluk yang begitu mudah mati. Malang kau paus. Padahal dia ingin lihat nona bulan menari, mungkin. Tapi sudah mati.

Yeah, biarlah. Toh dia sama bodohnya dengan si penyu. Kukubur dia nanti, di samping si penyu.
Oh, lihat! Si penyu pejantan lemah sudah selesai mengubur diri. Ujung ekornya menjulang keluar tak terkubur, eh. Lucu kau penyu.

Malam semakin larut. Sepi pun semakin tangguh tuk berkhianat. Aku tak boleh bernasib sama dengan mereka. Mati dikhianati sepi.

Nona bulan cepat datanglah!
Aku lelah menjerit!

Ah, nona bulan muncul dari balik awan hitam. Terang benderang, di tengah lautan langit gelap. Menerangi bangkai paus gila dan si penyu malang.

Akhirnya…
Akhirnya…
Kau datang nona bulan!
Ha ha ha.. sepi tak jadi berkhianat!

Lihat itu, sandal! Nona bulan sudah muncul ! Lihat, dia cantik dan mulai jentikkan jemarinya. Dia menari, eh sandal. Kita nikmati bersama sembari tiduri pasir putih ini, wahai sandal sepi!

Hei, setidaknya kau takjub, bukan bisu seperti ini!

26 Agu 2012

Sampul Kecemasan

Sardi menanggalkan sepasang sandalnya, melemparnya ke bawah. Menggeser tangga lebih ke pinggir dan menyandarkannya. Ia melihat ke atas langit yang berawan, matanya menyipit silau. Butuh beberapa saat untuk menemukan layang-layang yang diterbangkan Ayahnya itu. Sudah sangat tinggi, terlalu tinggi. Layang-layang itu nampak kecil di langit yang mulai jingga kemerahan di antara kepulan awan abu-abu yang membuyar.
“Lamanya,”
“Heh, susah mencarinya. Semua orang di sini sepertinya sudah berhenti merokok, Yah.”
“Kau cari di mana?”
“Tiap warung,”
“Bodoh, kau tidak cari di warung Kang Tunya?”
“Ini, aku akhirnya dapat di sana.” Sardi merogoh sakunya, mengeluarkan 12 batang rokok yang dibungkus plastik bening lecak.
“Cuma di sana kau bisa dapat rokok.”
“Menyebalkan tiap ke warungnya, Yah.”
“Karena dia tuli,”
“Kurasa dia juga pikun, agak pikun.
“Dia satu-satunya orang di desa ini yang aku suka. Selain kau, dan Ibumu.”
“Ya, tapi dia menyusahkan. Pantas banyak yang emoh belanja atau sekedar minum kopi di warungnya.”
“Dia hanya terlalu banyak berpikir, dulu dia suka menghitung dan menebak angka untuk judi, sebelum tuli. Dia jenius, kau tahu?”
“Orang jenius selalu merepotkan.”
“Begitulah. Tapi aku suka tiap sekedar merokok dan mengopi di warungnya, di sana nyaman. Dia teman bicara yang menyenangkan, yah walaupun dia tidak bicara, bisa dibilang tidak tahu apa yang dibicarakan. Istrinya yang lebih tua renta selalu tersenyum dan menyajikan pisang goreng, terkadang pisang rebus, yah tak jarang ubi merah rebus. Di sana nyaman.”
“Bagaimana anginnya?” Tanya Sardi mengalihkan pembicaraan soal Kang Tunya yang tuli.
“Masih stabil, angin bertiup rendah.” Jawab si Ayah.
“Terlalu stabil, ini sudah menjelang sore akan mati.” Ujar Sardi sembari menutupi api korek dengan telapak lengannya, dan menyalakan rokok.
Si Ayah melakukan hal yang sama sembari menahan benang kenur di antara jemarinya. “Kenapa kau selalu menyebutnya begitu?” ujarnya yang nampak nikmat menyesap asap rokoknya.
“Bukannya memang seperti itu,” jawab Sardi yang terlihat sama nikmat dengannya.
“Aku selalu ingin tahu kenapa kau terus menyebutnya begitu,”
“Itu sebutan yang bagus menurutku, lagipula cocok untuknya.”
“Itu sebutan yang menyedihkan bagiku.”
“Tidak terlalu menyedihkan jika dibanding sebutan Ayah untuk janda bisu itu.” Sardi tersenyum kecil, kemudian menyesap rokoknya. Si Ayah memandangnya tanpa wajah beraut.
“Sebutan itu cocok dengannya, dia seperti wujud kesedihan.” Ujarnya, dan sibuk menyeimbangkan kenur layang-layang.
“Aku masih ingat, soal dia,” ujar Sardi dengan kepulan asap dari mulutnya. “Di pagi buta dia selalu duduk di teras seorang diri, ketika tengah malam dia duduk kembali di teras seorang diri, rambutnya selalu disisir rapih dengan lapisan bedak yang tak terlalu tebal di pipinya yang merona. Dia gila.”
“Dia menunggu suaminya,”
“Lelaki bodoh mana yang pergi meninggalkan wanita setia seperti dia. Orang itu pasti buta.”
Si Ayah tidak menyahutnya. Dia tidak ingin membicarakannya, tidak sekarang. Sardi duduk bersandar, menekuk kaki kanannya dan menyilangkan kaki kiri di atasnya. Punggung lengan kirinya dijadikan bantalan di kepalanya. Berusaha mendapatkan posisi yang nyaman. Si Ayah tetap sibuk mengendalikan layang-layang.
Dari atap rumah itu, mereka bisa melihat jelas matahari tenggelam di balik bukit di sana. Karena dari tempat mereka berada menghadap lurus tepat ke arah bukit. Tempat yang nyaman dan hangat untuk melihat Sang Surya mati tertelan waktu.
Sardi menghisap rokoknya. Melayangkan pikiran di benaknya. Ia mencoba memikirkan Si Janda bisu itu. Kemudian memikirkan Ibunya, lalu mendoakannya. Memikirkan beberapa temannya, tidak banyak yang dapat dipikirkannya, hanya beberapa teman. Mereka teman-teman yang menyenangkan. Memikirkan hutan dan arus sungai tempatnya dulu bermain. Memikirkan ia bersama teman-temannya di sana, tak banyak teman yang dapat dipikirkannya. Kembali Ibunya muncul dipikirannya, lalu mendoakannya lagi. Sekarang ia membayangkan wujud burung wallet, ia tidak pernah melihat burung wallet, dan ia tidak bisa membayangkannya. Ia lalu berdoa agar dapat melihat burung itu suatu waktu. Angin berkesiur menyejukkan telapak kakinya, ia menarik napas panjang mencoba merasakan aromanya. Melihat layang-layang yang agak menukik yang diterbangkan Si Ayah. Ia membayangkan terbang seperti layang-layang, beradu balap dengan burung wallet. Tidak, ia tidak pernah melihat burung wallet. Ia membayangkan terbang beradu balap dengan seseorang. Dan kini ia mencoba membayangkan seseorang,membuat perutnya panas naik hingga rongga dada, ia membayangkan hal yang membuatnya mual dan kesal. Ia memalingkan pikirannya dengan melihat Ayahnya yang tetap mematung memainkan layang-layang sembari menyalakan rokok yang baru. Ia melihat wajahnya yang menghalangi cahaya, terlihat seperti siluet. Hidungnya yang mancung besar terbentuk jelas dengan asap yang mengepul di hadapannya. Ia memikirkan Ayahnya kini, mencoba membayangkan masa dahulu Ayahnya. Tetapi Ibunya kembali muncul dipikirannya, lalu mendoakannya kembali.
Ia memandang kearah bukit, kemudian menghela napas panjang. Jantungnya berdegup kencang, dan tersenyum. Pepohonan yang menghijaui bukit, angin meniupnya membuatnya nampak menari. Senja mulai muncul menyirami bukit dengan cahayanya yang kuning kemerahan. Hal yang lama tak kunikmati, ujarnya dalam hati.
“Kau bisa melakukan ini,” ujar Si Ayah yang membuatnya tersadar dari pikirannya.
“Hah?” sahutnya.
“Manuver menukik yang tajam,”
“Itu bukan manuver, angin yang mendorongnya.”
Si Ayah tertawa, menarik kenur dengan cepat. Melempar kaleng susu bekas yang agak berkarat untuk menggulung benang.
“Gulung itu,” suruh Si Ayah.
Sardi menggulungnya, kenur bening kehijauan. Melihat Ayahnya yang cekatan menarik kenur menurunkan layangan.  Layang-layang mulai nampak membesar dalam jarak beberapa puluh kaki di udara. Si Ayah memutuskan kenur dengan menyulutkan bara api rokoknya, Sardi melihatnya heran
“Buat apa kugulung,” ujarnya. “kenapa diputus?”
“Dia ingin terbang bebas di udara,” ujar Si Ayah. “aku ingin sisakan beberapa meter kenurnya untuk memancing.” Sardi selesai menggulung. Si Ayah menyesap rokoknya, dan nampak terkagum melihat layang-layang itu terbang menjauh. Menjauhi bukit.
“Sudah kau gulung?” tanyanya.
“Sudah,” jawab Sardi. “sepertinya tidak cukup untuk memancing.”
“Sungai itu dangkal, tak perlu kenur yang terlalu panjang.”
“Bukan, maksudku tidak cukup untuk dua orang yang memancing.”
“Kau mau ikut?” ujar Si Ayah senang, kemudian duduk di sebelah putranya. “Kukira kau sudah lupa cara memancing.”
“Ya, aku sudah lupa,” ujar Sardi. “lupa kalau Ayah selalu kalah
Si Ayah tertawa kecil. Kemudian duduk di sisi putranya. “Memancing bukan soal kalah atau menang, Nak. Ini soal keberuntungan.”
“Ya, begitulah. Ayah selalu kalah soal keberuntungan.” Mereka tertawa kencang dengan nada rendah. Angin berkesiur seakan membawa jauh tawa mereka.
Hari semakin sore. Matahari nampak makin menurun dari langit. Dalam beberapa saat mereka berdiam. Memandang lurus bersama kearah bukit.
Sardi alihkan pandang pada wajah Ayahnya yang duduk memeluk lutut satu kakinya. Beberapa detik, dan memandang kembali pada bukit. Kemudian memikirkan suatu peristiwa yang tidak ingin ia pikirkan. Ia merasa muak, mencoba membuang pikiran itu. Memandang kembali wajah Ayahnya, yang balik memandangnya tersenyum.
“Ada apa, Yah?” tanyanya.
“Apa?” ujar Si Ayah.
“Apa yang Ayah cemaskan?”
“Maksudnya?” Sardi memandangnya lebih dalam kini. Mata cokelat besarnya dan pipinya yang kurus cekung.
“Tidak, tak ada apa-apa.”
“Kenapa?” Ayahnya balik bertanya. “Kau ada masalah apa?”
“Tidak, ng.. maksudku, Ayah seperti sedang memikirkan sesuatu.”
Si Ayah tertawa kecil. “Apa bahasa tubuhku terlihat seperti itu?”
“Tidak tahu. Hanya merasa.”
“Lalu apa yang kau cemaskan, Nak? Kau terlihat cemas, dan itu nampak jelas.”
“Aku tidak merasa cemas. Ya, walaupun cemas, aku mencemaskan kau, Yah.”
“Tidak ada yang perlu dicemaskan dariku. Ada masalah apa sebenarnya?”
“Ng, Ayah, kau tahu. Aku tidak suka senja sore, seperti ini.”
“Aku tahu. Itu salah satu yang kucemaskan darimu.”
“Ya, jika melihatnya, aku merasa muak. Selalu teringat wanita itu.”
“Siapa?”
“Karmah.”
“Dia terlalu cantik untuk dimuaki.”
“Tidak, bukan. Aku meninggalkannya tepat saat waktu seperti ini, dan aku muak mengingatnya.” Sardi mengernyitkan dahinya, dan merasa muak pada dirinya sendiri. Bukan, ia hanya tidak ingin membenci Karmah karena penyesalannya. Ayahnya melihat tajam padanya.
“Itulah lelaki, Nak,” ujar Si Ayah. “Lemah terhadap perasaannya, tapi ingat ini. Terkadang itu dapat menarik di mata wanita, sebagian wanita.”
“Seperti Ibu?” tanya Sardi tersenyum.
“Begitulah, Ibumu menyukai lelaki payah.”
“Kurasa Ayah lelaki beruntung yang ada.”
Mereka tertawa kembali. Entah menertawakan apa, terdengar seperti menertawakan diri sendiri yang merasa payah.
“Aku pikir kau pun akan begitu,” ujar Si Ayah dengan masih tertawa kecil. “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.”
“Aku,” ujar Sardi sama masih dengan tawa kecilnya. “aku buah yang tak pernah jatuh dari pohonnya.”
Tawa mereka berlanjut. Dan itu sudah cukup untuk meriuhkan petang yang sepi ini, tapi tidak cukup lama untuk menghabiskan waktu menunggu senja tenggelam sepenuhnya. Mereka tertawa singkat. Sesaat mereka berdiam kembali. Memandang bukit yang memunggungi mentari senja.
“Lalu apa yang kau cemaskan, Yah?” tanya Sardi memulai bicara kembali.
“Aku merindukan Ibumu.” Jawab Si Ayah. Sardi memandang matanya yang lurus tajam menatap bukit. “Aku juga sama denganmu, tapi aku tidak muak, hanya merasa rindu jika memandang senja seperti ini.”
“Mungkin Ayah harus menikah.”
“Lagi? Tidak, aku terlalu mencintai Ibumu.”
“Mungkin dengan Janda bisu itu.”
“Tidak, tidak akan mungkin. Aku hanya kagum padanya.” Sardi tetap memandang wajah Ayahnya dalam diam.
“Ya, benar,” ujarnya. “Kurasa Ayah tidak cocok dengannya, kalian terlalu dalam terbelenggu masa lalu, maksudku cinta sejati.”
“Bukan, kau salah,” ujar Ayahnya. “Aku hanya senang dengan kesendirian sekarang, terkadang sakit karena memutar kenangan kembali, terasa nikmat.”
“Ayah benar, itu mengapa banyak orang yang sudah tahu rasa sakit karna teringat kenangan tapi mereka tetap mengingatnya.”
“Karena mereka  tahu rasa sakitnya begitu terasa nikmat.”
Mereka saling memandang dan tersenyum kembali. Angin bertiup semakin kencang. Langit memerah kekuningan. Lima ekor burung terbang melintas di atas bukit yang terhias oleh senja.
Sardi memandang bukit lebih nyaman. Ayahnya menyalakan rokok kembali. Angin berkesiur kencang menggoyangkan pepohonan yang menimbulkan bunyi-bunyi gesekkan yang terasa menenangkan.
Senja, ujar Sardi membatin. Senja nampak seperti, kehampaan, kesedihan. Warna yang memilukan. Bentuk yang mengagungkan dan menyedihkan. Dunia akan merasa kehilangan penerangnya untuk beberapa jam. Apa dunia akan merasa kesepian tanpanya? Dunia masih memiliki bulan. Bulan, bulan hanya kotoran kecil. Wujud ilusi kesepian itu sendiri, lebih memilukan. Yang menakjubkan terkadang selalu yang memilukan, yang memilukan terkadang selalu yang menakjubkan. Seperti Ayah yang takjub  pada Kang Tunya tuli dan Janda Bisu itu, terutama Ibu. Dan seperti diriku yang takjub pada Ayah.
“Kau lihat senja itu?” Si Ayah berkata.
“Ya,” jawab Sardi yang kini duduk bersila.
“Tuhan itu seniman, Nak,” ujar Si Ayah sembari memandang kagum. “saban sore Ia selalu melukis dunia dengan warna-warna mengharukan seperti itu.”
“Saban malam Ia membentuk pola lingkar dan banyak noda titik dengan warna jingga pucat di kanvas gelap,” ujar Sardi meneruskan.
“Aku tahu, itu bulan dan bintang.” ujar Si Ayah tersenyum.
Mereka saling menatap satu sama lain, kemudian tertawa kecil kembali, tapi terdengar cukup keras.
Langit semakin memerah menuju gelap. Di waktu ini angin akan bertiup dari arah bukit menuju ke bawah. Membawa sejuk dan aroma juga tawa cemas mereka.

12 Apr 2012

Lelaki

  Petang yang buta di sisi jalan bukit yang menurun sangat sunyi. Hanya angin yang bertiup kencang dan berdesau menggesek pepohonan pinus yang tumbuh menjulang dari puncak hingga kaki bukit. Seekor burung hantu bertengger pada dahan, dan terdengar seperti mengigau. Hutan begitu lembab basah, beberapa jam yang lalu hujan ringan mengguyur hingga desa yang ada di bawahnya.
   Jika menuruni bukit menuju timur akan menemukan sebuah desa tenteram dan hangat. Desa dengan sedikit penduduk manusia yang kebanyakkan sebagai petani dan peternak. Jika menuruni bukit menuju barat, akan menemukan sungai kecil. Di dekat sungai itu terdapat mata air jernih yang juga mengalir dan membaur dengan sungai yang bening keabu-abuan. Ikan-ikan air tawar sangat berlimpah di sana, dan udang-udang pun cukup gemuk. Surga untuk pemancing dan mengadu peruntungan.
   Desa terlalu sunyi, setelah hujan membasahinya. Terkecuali di salah satu pondok kecokelatan di dekat sudut ladang sawah. Lampu telah terang walau petang masih cukup terang. Di luaran teras pondok terdapat lima pasang alas kaki yang kotor oleh lumpur. Sepasang ada yang lebih kotor, alas dari karet ban kehitaman yang menggambarkan lumpur cokelat kemerahan yang menempel dan ada daun pinus tersemat di antara lumpur berasal dari bukit.
   “Sudah boleh dimakan, Nyonya Rose?” ujar seseorang dari dalam pondok. Terdapat meja dari kayu rotan tua berwarna cokelat kehitaman, memanjang di tengah ruangan. Di atasnya tersaji berbagai masakkan. Nyonya Rose nampak sibuk memotong dan mengiris ayam hutan yang dibakar dengan kecap manis dan taburan lada hitam pada enam piring porselen. Kemudian membagikannya pada keenam anak yang telah duduk rapih. Tiga anak duduk di sisi kiri dan tiga anak lainnya duduk di sisi kanan.
   “Oke,” ujar Nyonya Rose. “Sebelum makan kita berdoa. Oh ya, sayang buat permintaan dulu.”
   “Ya, ya, buat permintaan, Nasha!” ujar salah seorang anak kurus dan bertubuh tinggi.
   “Ya, ya, buat permintaan, Nasha!” ujar anak lain yang duduk di sebelahnya mengulang. Mereka nampak mirip, serupa, dengan tinggi yang sama. Hanya bintik di wajah pada salah satunya yang membedakan dengan anak satunya yang tidak memiliki bintik.
   “Aku malu kalau harus di ucapkan, bu,” ujar anak perempuan yang duduk di sebelah kanan Nyonya Rose dan di sebelah si kembar. Dia bernama Nasha, berparas cantik, dengan rambut hitam panjang yang pekat, beralis hitam tipis, mata bulat kecil, bibir tipis memerah, dan pipi yang merona setelah didandani Nyonya Rose selama sejam lebih. Dia mengenakan gaun biru, yang membuatnya nampak sepeti bidadari langit tersesat setelah hujan mengguyur, anak perempuan yang cantik, setidaknya itu yang terpikir di benak seorang anak lelaki yang sedari tadi menatapnya diam-diam sejak duduk di kursinya.
   “Tak usah malu,” ujar seorang anak yang terlihat lebih rapih dengan kemeja hitamnya dan tampan karena rambut klimis menyampingnya. Anak itu mengucapkannya tanpa menoleh dari wajah Nasha dengan seksama, dan penuh kasih sayang.
   “Katakan, Nasha,” ujarnya lembut.
   “Kami ingin mendengarnya,” ujar anak perempuan bertubuh kecil yang duduk disebelahnya dan anak lelaki yang tertunduk diam tak bicara sedari tadi.
   “Ayo katakan, sayang,” ujar Nyonya Rose lembut membelai rambut Nasha yang menunduk malu.
Nyonya Rose bertubuh gemuk, berwajah kemerahan, dan berhidung mancung seperti putrinya. Nasha memiliki mata yang sama dengan Nyonya Rose, dan Nyonya Rose sama cantik dengannya. Nyonya Rose memiliki darah Belanda.
   “Ngg, aku ingin...,” ujar putrinya menunduk malu. “aku ingin menjadi pengantin yang cantik dan menikah di istana megah.” Nasha tersenyum lembut, wajahnya memerah walaupun sudah memerah. Nyonya Rose tersenyum dan membelai rambutnya lagi.
   “Semoga terkabul, sayang,” ujarnya.
   “Semoga terkabul!” ujar semua anak mengamini, terkecuali anak lelaki yang diam hanya tersenyum dan menatap Nasha tak berkedip.
   “Ya, kita makan sekarang, anak-anak,” ujar Nyonya Rose.
   “Aku sudah lapar sekali,” ujar salah seorang si kembar.
   “Aku dapat bagian paha, Rud,” ujar kembarannya.
   “Aku paha kirinya, Ted,” ujar yang wajah berbintik.
   “Maaf, Nyonya Rose,” ujar si anak tampan menyela sopan. “Boleh aku memberi hadiah untuk Nasha?”
   “Oh, ya,” jawab Nyonya Rose.
   Si anak tampan memberikan bungkusan kotak dan setangkai bunga di atasnya pada Nasha. Dan mengucapkan selamat ulang tahun padanya dengan lembut dan penuh kasih. Nasha wajahnya semakin merona, saat si tampan menjabat tangannya. Anak lelaki yang diam tidak melihatnya, bukan, ia hanya tak berani melihatnya, dan tertunduk menatap piring porselennya.
   “Terima kasih,  Ed,” ujar Nasha membalasnya penuh kasih. Edie si tampan tersenyum manis dan terlihat bahagia mendengarnya.
   “Kau romantis, Ed,” ujar si kembar yang berbintik.
   “Ya, kau romantis, Ed,” ujar si kembar lainnya. Ed tertawa kecil, Nyonya Rose hanya tersenyum, si gadis kecil tertawa, Nasha tertawa dengan wajah menyenangkannya, si anak lelaki yang diam tersenyum kecil menatap Nasha dan memalingkan lagi pandangnya pada piring poreselen kesayangan Nyonya Rose.
   Mereka menyantap masakkan yang di buat Nyonya Rose. Nyonya Rose sangat pandai memasak. Si kembar makan sambil tertawa, dan membuat lelucon, atau mengejek Ed yang menaruh rasa pada Nasha. Si gadis kecil bernama Helen tersedak tertawa. Ed hanya tersenyum dan tak pernah melepas pandangnya dari Nasha. Nasha hanya berani sesekali membalasnya, dan merona. Nyonya Rose hanya melihat mereka, bahagia melihat putrinya kini berusia tiga belas tahun tertawa dengan teman-teman sebayanya. Si anak lelaki yang diam tetap diam dan terkadang tersenyum, lalu mencuri pandang dengan cepat menatap Nasha. Itu keahliannya, menatap gadis yang berulang tahun itu secara diam-diam. Kedua bola matanya memiliki kelebihan dalam hal itu, juga ketika memancing dan menangkap belalang.
    Ia sangat menyukai wajah gadis itu, dan tak henti-hentinya mengagumi rambut dan mata gadis itu dalam benak. Ya, hanya dalam benak, dan membatin juga berkhayal. Celana panjangnya sedikit kotor oleh lumpur setelah penuh semangat menuruni bukit. Setibanya di sini, hanya kecut diam, mencuri pandang. Namun itu cukup membuatnya bahagia, puas tak kepayang melihat gadis itu tersenyum.
   Dadanya sempat merasa tertusuk ketika Ed memberi gadis itu hadiah dan bunga. Sempat dalam batin ia menyesal telah datang. Kini, ia mencoba melupakannya, namun dadanya tetap sesak. Otaknya tak mampu berpikir jernih. Dalam saku celananya terdapat kotak yang berisi kalung. Kalung yang ia buat sejak seminggu sebelum hari ini dari akar-akar pepohonan. Dibuat penuh kasih dan harap, untuk gadis itu. Tapi ia terlalu kecut tuk memberinya, nyalinya jatuh melihat Ed, hatinya terasa rapuh. Kedua matanya seakan melukiskan kekalahan dengan senyum paksanya.
   “Dirga,” ujar Nyonya Rose padanya. “Kenapa diam saja, sayang?”
Dirga terjaga dari dunia benaknya. Menengadah wajahnya pada Nyonya Rose. Ia mencoba tersnyum, dan sempat menoleh pada gadis itu.
   “Eh, iya maaf,” ujarnya.
   “Apa kamu sakit, nak?”
   “Tidak kok, Nyonya Rose,”
   “Lantas?” tanya Nyonya Rose. Semua terdiam melihat Dirga.
   “Aku tidak apa-apa, Nyonya Rose,” ujarnya terdengar bergetar.
   “Apa ada sesuatu yang ingin dikatakan, nak?”
   “Mungkin kamu kekenyangan,” ujar si kembar berbintik membuat lelucon, namun tak ada yang tertawa.
   “Mungkin kamu rindu ayahmu,” ujar si kembar lainnya mencoba lelucon lain.
   “Ah, tidak ada, Nyonya Rose,”
   “Kamu kenapa, Dirga?” tanya Nasha padanya.
   Dirga bergetar, jiwanya merasa bergelora mendengar gadis itu berkata padanya, dan mengacuhkan Ed yang menatapnya datar.
   “Kamu ini kenapa?” tanya Helen si gadis kecil menyiku bahunya.
   “Aku tidak apa-apa kok, maaf,”
   “Oh ya,” ujar Nyonya Rose lembut. “Bagaimana kabar ayahmu, nak?”
   “Dia baik-baik saja, Nyonya Rose,” jawab Dirga.
   “Apa yang dikerjakannya sekarang?”
   “Masih memotong kayu,”
   “Dan memancing,” ujar si kembar Ted.
   “Juga berburu,” sambung si kembar Rud.
   “Oh,” ujar Nyonya Rose tersenyum padanya.
   “Oh iya, Dirga,” ujar Nasha tersenyum. “ajak aku memancing di sungai kapan-kapan ya.”
   Entah apa yang dirasakan ia mendengar gadis itu meminta padanya. Ia hanya diam kaku melihatnya. Sesak di dadanya punah seketika, darah mengalir deras menuju kepalanya, perutnya merasa hangat. Ia bahagia.
   “Oh iya, Nyonya Rose,” ujar Helen. “Lusa giliran Dirga berulang tahun.”
   “Wah, benarkah?” ujar Nyonya Rose sumringah.
   “Iya, bu,” ujar Nasha juga sumringah. “Lusa dia yang ulang tahun.”
   Ed tetap diam dan melihat Nasha yang nampak simpatik pada anak lelaki itu. Ed seperti tidak suka mendengar gadis itu mengatakannya.
   “Wah, selamat teman!” ujar si kembar bersamaan.
   “Apa akan dirayakan?” tanya Ed datar.
   “Ngg, sepertinya tidak,” jawab Dirga.
   “Kenapa tidak?” Nasha bertanya heran, namun lembut.
   “A, ayah tidak suka pesta,”
   “Oh,” ujar Ed tetap datar.
   “Sayang sekali,” si kembar Rud menyayangkan.
   “Oh iya,” uajr Nasha senyum semangat. “lusa ajak aku dan Ed ke sungai ya, Dirga. Kamu pernah bilang ada mata air jernih di sana. Ajak aku ya, Ed juga.”
   “Kami tidak di ajak?” si kembar menyela.
   “Jangan. Aku ingin bersama Ed saja. Bolehkan, bu?
   “Curang, dasar kalian kasmaran,” ujar si kembar bersamaan dan tertawa.
   “Ya, tapi hati-hati,” ujar Nyonya Rose.
   “Senangnya,” gadis itu berkata dengan senyum manisnya. “kamu mau kan, Dirga?”
   Rasa bahagia anak lelaki itu tersapu seketika. Entah, namun dadanya kembali berat. Tubuhnya bergetar, matanya nampak kecut. Lidahnya beku, sulit berkata.
   “I, iya boleh, kok,” ujarnya merasa getir.
   “Wah, terima kasih!”
   Ed menatapnya penuh kemenangan. Dirga kembali menatap piring porselen di hadapannya. Ia merasakan sesuatu yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Seperti inikah menjadi lelaki, ia membatin. Rasa apa ini, dadaku sesak. Ia menerawang wajah ayahnya pada permukaan piring porselen yang kotor dengan sisa makannya yang tak habis. Wajah ayahnya yang tanpa ekspresi, dengan rahang besar dan berkerut. Pundak yang besar, pondasi kokoh menahan jiwa yang tak pernah ia ketahui apakah pernah merasakan apa yang ia rasakan juga. Hanya, di matanya, ayahnya seorang yang tangguh pendiam bertubuh tinggi. Tidak pernah tahu apakah ayahnya juga pernah rapuh seperti ini. Ayah. Ia ingin mengadu padanya.
   Mentari semakin tenggelam dari balik bukit. Pesta telah usai dengan ciuman pada kening Nyonya Rose oleh Nasha. Kelima anak itu berpamitan, meninggalkan pondok. Dirga mengenakan sandal kotornya, si kembar tak henti-henti mengagumi masakkan Nyonya Rose, Helen si gadis kecil memeluk Nasha dan pamit pada Nyonya Rose, Ed si tampan menjabat lengan Nasha dan mengulang ucapan selamat ulang tahun padanya. Dirga mengalihkan hal tersebut pada si kembar yang lebih dulu meninggalkan pondok sambil bercanda.
   Dirga tak cukup berani berkata sepatah pun pada Nasha, dan hanya memandangnya. Gadis itu membalas dengan senyum lembutnya, Ed tidak melihat hal itu. Mereka berpisah di tengah jalan, Dirga melewati tepi ladang jagung menuju bukit. Ia melihat Ed berjalan tegak dari arah yang berlawanan, kemudian memalingkan matanya pada pondok hangat tempat Nasha bersama Nyonya Rose bernaung bahagia di dalamnya. Merogoh saku celananya merasakan kalung tuk Nasha dengan telapak lengannya. Dadanya bergetar.
   Ia menyusuri kaki bukit, melewati pepohonan pinus yang hangat. Jalan setapak yang lembut, dengan tanah yang gembur, dan mentari masih cukup terang untuk mendaki bukit. Ia melihat burung hantu yang masih tertidur sejak menuruni bukit tadi, ia ingat betul tempat dan posisi tidur burung hantu itu masih sama dengan yang ia lihat sebelumnya. Pemalas, ia membatin, tapi kau hebat.
   Ia telah sampai pada puncak bukit, terdapat pondokan kecil yang terang dengan lentera di dalamnya, dan lentera padam yang tergantung pada tiang pondasi. Beberapa tumpukkan kayu yang telah dikuliti berjejer rapih di samping kiri pondok, dengan kapak besar tertancap di atas salah satu tumpukkan. Ia menaruh sandal kotornya di samping luar pintu. Ia melihat ayahnya yang sedang duduk di kursi goyangnya sambil membaca koran. Kopi susu hangat di meja sebelahnya. Di depan ayahnya, pelita telah menyala dengan api kecil, namun hangat.
   “Bagaimana pestanya?” ujar ayahnya tanpa melihat. Wajahnya terbenam dalam koran yang direntangkan.
   “Menyenangkan,” jawabnya datar, sambil membuka kemeja. Kemudian mengenakan kaus tebal yang tergantung pada dinding pondok.
   “Kau lapar?”
   “Tidak, tadi Nyonya Rose memasak.”
   “Minumlah susumu.”
   “Aku terlalu kenyang.”
   Sang ayah melihatnya dari balik koran. Melipatnya dan memandang ia. Wajahnya yang cekung tak berekspresi. Memandangnya cukup lama, dan si anak hanya diam duduk menatap lurus pada lantai.
Dia bangkit dari kursi goyangnya, mengambil potongan kayu dan memasukkannya pada pelita dengan apinya yang mulai mengecil. Meniupnya beberapa kali hingga api membesar.
   “Hangatkan tubuhmu,” ujarnya pada si anak.
   Dia menatap putranya masih tetap lurus memandang lantai tak berkata. Bayang anak itu terlukis pada dinding pondok. Angin mendesau di luar pondok, dan langit mulai gelap. Suhu di puncak bukit pun membeku. Si anak masih tetap diam dalam pandang kosongnya, menerawang jauh dalam dunia benaknya. Ayahnya terpaku menatapnya. Menutup pintu pondok dan beberapa jendela. Memanaskan air dengan termos yang digantung di atas api pelita. Menuangkan susu bubuk ditambah beberapa sendok gula.
   Menunggu termos berbunyi, kemudian kembali menatap kaku anaknya yang tetap dalam keadaan sama. Meniup perapian, dan menatapnya lagi.
   “Kau akan baik-baik saja,” ujarnya pada si anak. Si anak tetap diam tak bergerak. Hanya deru napasnya yang terdengar. Tiupan angin semakin kencang di luar pondok. Jerit burung hantu terbawa olehnya, mungkin hanya igauan si burung hantu di hutan sana.
   Sang ayah melihat keadaan di luar pondok lewat jendela, memastikan tidak terjadi apa-apa pada tumpukkan kayunya. Si anak terus berdiam tak berkata. Ayahnya kembali menatapnya, melihat matanya yang lurus tajam memandang lantai.
   “Ayah,” ujar si anak memulai bicara namun tetap memandang lantai. “apa aku akan baik-baik saja?” Ayahnya menatap dalam padanya. Dahinya berkerut penuh kasih melihatnya.
   “Ya, kau akan baik-baik saja,” ujarnya datar dengan suara berat.
   “Apa ayah yakin?”
   “Tentu,”
   “Aku tidak yakin,”
   “Aku tahu,”
   “Apa aku akan baik-baik saja setelahnya?”
   “Tentu,”
   “Aku tidak yakin,”
   “Itulah lelaki,” ujar ayahnya, meniup perapian.
   “Apa harus seperti ini yang dinamakan lelaki?” si anak bertanya, dan mulai mengalihkan pandangnya pada tubuh sang ayah yang besar sedang berjongkok.
   “Selalu,”
   “Oh,” ujar si anak. Kemudian ia mulai kembali menatap lantai dan diam tak bergerak.
   Angin terus bertiup kencang. Membuat si burung hantu di hutan sana membeku. Daun pepohonan pinus saling bergesekkan. Api lentera di luar pondok yang tergantung padam, diam membisu sama halnya dengan sandal kotor yang tergeletak di sebelah kalung akar pepohonan yang dijatuhkannya.

Maut

            “Dua roda belakang bocor!” teriak kondekturr pada supir.
            “Ambil dongkrak,” sahut supir. “cepat ganti, nanti keburu gelap!”
            Cuaca terlalu panas, terlalu panas untuk berhenti di tengah jalan yang gersang sekarang. Punggungku berkeringat, basah membekas pada bangku yang kududuki.  Cuaca terlalu panas, walaupun waktu menunjukkan telah petang. Musim panas, yeah aku tidak pernah suka musim panas.
            Kubuka jendela sepenuhnya. Sekelebat angin panas menerpa wajahku. Kulihat kondektur sedang memutar dongkrak. Wajahnya basah oleh keringat, terlebih pakaiannya dengan kaos abu-abu bergambar Marlyn Monroe tanpa pakaian. Handuk birunya yang dilingkari di tengkuk pun tak luput basah. Si kondektur seperti sedang mempertaruhkan nyawa, di tengah terik matahari.
Si supir pun keluar dari bus dan membantunya. Dia merokok. Merokok di tengah terik matahari seperti ini. Asap tembakau menyembul dari mulutnya, ketika menggelindingkan roda cadangan. Aku ingin merokok, melihat si supir merokok, aku pun ingin merokok. Tidak, aku tidak perlu merokok, yang kubutuhkan adalah air di cuaca seperti ini.
Kubuka botol air mineral yang kubeli di perhentian sebelumnya. Kosong, tak tersisa setetes pun. Kerongkonganku makin terasa kering, segersang aspal jalan membayang yang kupandang. Kuperhatikan sekeliling jalan lewat jendela. Tak adakah rumah makan, tak adakah kedai minum di sekitar sini. Kerongkonganku terlalu kering dan lapar, aku dehidrasi.
“Tak bisakah, kau tutup jendelanya?”  ujar seorang wanita. “Terlalu panas untuk membuka jendela sekarang, kau tahu?”
Kulihat wajah wanita itu. Wanita paruh baya, dengan hidung besar, wajahnya memerah kepanasan, dan terlihat makin panas dengan apa yang kulakukan. Aku memandangnya beberapa detik, sejak aku duduk bersebelahan dengannya dari terminal keberangkatan, aku tidak pernah melihat wajahnya seksama. Bibirnya agak tebal, dan telinga kirinya terlihat seperti lebih kecil dari telinga kanannya.
“Hei, kau dengar?” ujarnya lagi kesal.
Aku menutup jendela tanpa menyahutinya. Tidak, aku tidak menyahutinya karena kerongkonganku terlalu kering untuk bicara. Wanita ini hanya membuatku tambah merasa haus. Kupandang lagi sekitar jalan, menghindari wajah aneh wanita itu. Angin bertiup cukup kencang. Karena hari memang sudah petang, tapi cuaca terlalu panas untuk disebut petang. Angin panas menerpa debu di sekitar jalan, kulihat si kondektur dan si supir melindungi wajahnya dengan handuk mereka.
Aku merasa haus. Kerongkonganku benar-benar kering. Aku menyesal tidak membeli air botolan lebih, aku membatin. Kenapa aku tidak pergi saat musim dingin saja atau musim semi juga tidak terlalu buruk, walau di negeri ini tidak ada musim semi. Saat musim panas seperti ini, pemikiran terbaik adalah duduk pada teras dengan segelas air jeruk perasan, ditambah tiga sendok gula dan banyak batu es. Kemudian membaca beberapa buku, juga mendengar musik tentang kerinduan. Atau mendengar prakiraan cuaca lewat radio, atau pun menonton beberapa pertandingan sepak bola di TV. Tidak, saat musim panas tidak seorang pemain pun yang mau bermain sepak bola, mereka pun berpikir yang sama denganku. Mungkin, menonton perlombaan renang.
Renang, aku ingin berenang di musim panas seperti ini. Berenang di sungai bening dengan arus lembut. Beradu cepat dengan ikan-ikan gabus tua, dan sudah barang pasti aku yang menang. Aku perenang ulung, perenang jenius. Aku rindu tempat tinggalku, aku rindu sungai kecil di sana. Semasa kecil aku selalu berenang di sana bersama kawan-kawanku, dan memancing gabus-gabus tua setiap musim panasnya. Aku ingin berenang, dan aku butuh air.
Kudengar wanita aneh di sebelahku mengeluh pada si supir dan si kondektur. Kata-katanya tidak jelas, mungkin lidahnya terlalu pendek karena kepanasan. Aku tidak suka dengan wanita ini. Kuambil ransel yang kuetakkan di bawah bangku, seraya bangkit dari duduk. Berjalan kesulitan melewati wanita aneh itu tanpa permisi. Wanita aneh itu memandangku kesal, aku tak menghardik wajah anehnya.
“Mau apa kau, heh?” ujar si wanita aneh dengan mimik wajah memerah seperti kepiting rebus.
“Menjauh darimu.” ujarku tenang, mengacuhkannya.
Aku menyusuri lorong bus yang sempit. Para penumpang lain yang kepanasan menatapku, masing-masing dengan wajah-wajah aneh tak berbentuknya tanpa berkata. Aku menuruni bus. Cuaca lebih panas menyengat di luar. Kulit seperti terbakar, kepalaku pening seketika. Si supir dan si konduktor yang tetap sibuk teralihkan perhatiannya.
Si supir masih dengan rokoknya bertanya, “Mau kemana, Pak?”
“Mencari kedai minum,” jawabku menyipitkan mata menatapnya. “aku berjalan kaki saja.”
“Sudah hampir selesai, kok.” Ujar si kondektur.
“Masuklah, di luar sangat panas.” Ujar si supir menambahkan.
“Tidak, terima kasih,” sahutku. “tujuanku sudah dekat.”
Aku tahu aku berbohong pada mereka. Tempat tujuanku masih sangat jauh. Jalan ini hanya jalan kosong, gersang, dan beberapa kilometer panjang lagi. Dan mereka tahu aku bohong, mungkin bodoh.
Aku berjalan meninggalkan mereka, menjauhi bus. Sejenak kulihat balik si supir dan si kondektur tetap memandang kepergianku. Tidak begitu jelas wajah mereka, panas di luar menyebabkan aku tidak bisa melihat dengan jelas, terlalu silau dan panas. Mereka dan bus perlahan menghilang dari pandangan. Di luar benar-benar sangat panas. Kepalaku pening, jaket yang kukenakan pun tak berdaya melindungi kulit. Uap panas dalam jaket membakar kulitku. Keringat basah deras keluar di sekujur pori-pori wajah dan tubuh.
Aku berjalan terus. Aspal jalan begitu kering, di bagian tengahnya terdapat retakkan, memanjang ke depan. Jalan ini benar-benar sangat gersang. Di setiap sisi jalan hanya ada lapang rerumputan kering berpasir cokelat kekuningan. Rumput telah kering menguning, tak ada pepohonan. Bahkan tak kendaraan satu pun yang lewat selain bus yang berhenti. Hanya terasa tiupan angin panas menerpa wajahku yang membawa pasir-pasir kering.
Kerongkonganku kini menjadi perih. Aku sangat haus, dan kepala sangat pening. Sejenak kuhentikan langkah, mencoba menjernihkan pikiran dan mengatur alur napas. Kemudian berjalan kembali. Lagi-lagi pikiranku memutar kenangan di sungai sewaktu kecil dahulu. Wajah kawan-kawan kecilku, dingin air sungai yang bening, ikan gabus-gabus tua, dan terngiang jelas bagaimana cipratan air sungai ketika aku terjun bebas dari pohon tinggi di sekitar sungai. Aku sering melakukan penetrasi luar biasa saat berenang di sungai itu. Menenggelamkan diri dengan kepala berada di dasar sungai dan kaki menjulang ke atas, dalam posisi tubuh tegak lurus dan mencoba bertahan dari arus. Aku dapat melihat jelas ikan gabus-gabus tua dari dasar sungai. Mereka menatapku, berenang di hadapan wajahku, aku selalu tersenyum melihat mereka. Aku bisa melakukannya selama empat menit. Kawan-kawanku selalu terkagum setiap aku melakukannya.
Begitu pun setiap kami memancing di sana. Aku selalu beruntung dari mereka. Aku selalu mendapat ikan lebih besar. Aku tidak pernah tak mendapat ikan. Entah, jika sudah berada di sungai itu keberuntungan selalu membelengguku. Memancing tidak hanya mengandalkan teknik dan umpan terbaik, namun juga keberuntungan. Tetapi umpan memiliki peran cukup penting, gunakan belalang hijau yang hidup atau cacing gemuk agak kemerahan dengan setiap ujung ekor dan kepalanya mengecil dan hidup. Ayahku yang memberitahukannya. Ayah. Ayah. Ayah.
Kini aku merindukan ayahku. Ayah yang mengajariku berenang dan memancing. Ayahku lebih jenius saat berenang, tapi selalu tidak beruntung ketika memancing. Aku lebih jenius dan beruntung saat memancing, padahal ayah yang mengajariku memancing dan memberitahuku soal ‘keberuntungan’. Teringat jelas, pernah saat aku memancing bersama ayah. Aku berhasil mendapat lima ekor ikan besar dan ayahku tak mendapat satupun. Aku girang tak kepayang, dan ayah hanya memberi ucapan selamat tanpa terbata, namun aku dapat mengingat, sangat mengingat raut wajahnya yang pedih dan penuh kekalahan antara kagum dan memilukan. Raut ayahku sangat memalukan saat itu, tapi aku sangat suka wajah yang luar biasa itu.
Kenangan yang berputar dan merasuki otak juga gelora jiwaku. Aku selalu terkenang masa-masa itu. Lagi-lagi perih di kerongkonganku membuyarkan kenanganku. Kakiku terasa lembab dan gatal. Aku menyesal mengenakan sepatu kulit di cuaca seperti ini. Panas dan keringat membuat kaki terasa lembab dan gatal. Aku menyentakkan kakiku beberapa kali. Aku benar-benar sangat haus. Keringatku mulai mengering, dan keringatku habis tak tersisa. Cairan yang ada di dalam tubuhku telah habis menguap sepertinya.
Terdampar seekor kadal kecil di tengah jalan. Diam mematung seakan tak bernyawa. Dia berwarna hijau dengan sedikit corak kecokelatan. Ekornya panjang dan mengecil hingga keujungnya, lebih panjang dari tubuhnya. Kulitnya bersisik kasar, matanya besar menonjol keluar. Kulihat kaki kiri depan diangkatnya, lalu kaki kanan depannya, kemudian kedua kaki belakang berurutan diangkatnya. Sepertinya keempat kakinya melepuh panas karena dia tak memakai sepatu walau sisik di kakinya cukup tebal. Lidahnya yang melengkung spiral keluar dari mulutnya yang mengatup rapat, membasahi kedua matanya yang besar.  Ekornya sama sekali tak bergerak.
Aku menghampirinya perlahan, mencoba tak bersuara dari langkah sepatu bot kulitku yang lembab. Aku berada tepat di belakangnya, posisi titik mati penglihatannya. Aku berjongkok, memperhatikan kembali tubuhnya dan terpesona. Dengan cepat tangan kananku merengkuh tubuhnya, dan menggenggamnya erat namun tak keras agar tak melukainya. Kuperhatikan tubuh bagian bawahnya, putih halus mengkilap tanpa sisik. Kau sungguh menakjubkan, kau mampu bertahan di tengah cuaca seperti ini, kau hal terindah sepanjang perjalananku ini, hendak apa gerangan kau, kadal kecil tak berdaya, aku membatin.
Kadal itu tetap diam tak berontak dalam genggaman. Kuperhatikan seksama matanya yang sangat bulat, kelopaknya menutup dan membuka secepat yang dilakukan kelopak mataku saat berada di dalam sungai. Kuletakkan kembali dia pada jalan, keempat kakinya tersentak kaget oleh panas, aku tertawa tak bersuara melihatnya. Kuletakkan lagi dengan perlahan, dan kulepas genggamanku, seraya kadal itu dengan langkahnya yang cepat menjauh menuju lapang rerumputan kering menguning.
“Sampai jumpa,” ujarku berteriak. “semoga kau menemukan air. Dan beritahu aku jika benar menemukannya, kawan!”
Aku kembali berjalan, dan panas tetap menghujaniku. Aku mencoba memutar kembali kenangan di sungai bersama ayahku. Ayah pernah bercerita padaku, bahwa ia mendapat pelajaran cinta dan seks pertamanya di sungai itu. Aku mencoba mengingat raut wajahnya saat menceritakan itu padaku. Kerongkongan yang perih menghancurkan daya kerja otakku, wajah ayah pun buyar dalam benak.
Kenangan menjadi pondasiku bertahan di perjalanan yang menderitakan ini. Aku terus mengenang, dan menjauhi pikiran dari rasa perih dan kering di kerongkonganku. Kedua kakiku mulai melemas dan gemetar. bagaimana kabarmu, ayah? Aku membatin, apa wajahmu tetap sama dengan yang lalu? Matamu takkan berbeda, ya, aku tahu matamu tak berubah. Bagaimana kabarmu, ayah? Ada sesuatu, ada sesuatu, sesuatu yang ingin kukatakan padamu. Bagaimana kabarmu, ayah? Ada sesuatu, ada sesuatu, sesuatu yang belum kau ajarkan padaku. Bagaimana kabarmu, ayah? Di mana ia berada? Ayah, dimana ia berada? Ah percuma, maut sudah merasuki dadaku. Ayah, beginikah maut ketika merasuki dadamu? Sesakit inikah? Bagaimana kabarmu, ayah? Maut-mu itu kini merasukiku. Apa kabar, maut? Bagaimana kabar ayahku? Apa kabarmu, maut? Diam, jangan bicara denganku! Bukan, katakan, katakan saja bagaimana kabar ayahku. Diam, lalu diam, jangan berkata padaku. Bagaimana kabarmu, ayah?
Deru mobil memecah kesunyian panas. Melepas maut seketika dari dadaku. Deru dari kejauhan di belakang punggungku, mendekat, berhenti di sampingku.
Pintu bis terbuka yang berjendelakan kaca retak yang terbuka. Si kondektur mendorong pintu melebar, “Masuklah, Pak. Cepat!”
“Ah, kau sudah datang, maut!”
“Maut?” ujar si kondektur bingung.
“Ah, maaf,” ujarku tersadar. “Aku sedikit berhalusinasi tadi, ya, maaf.”
“Cepatlah masuk, Pak!”
“Ya,” Aku memasuki bis, dan di dalam terasa lebih lembab dari keadaan di luar walau tetap terasa panas. Kulihat kursi semula tempat kududuk bersama si wanita bertelinga aneh itu. Dia tertidur tak mendengkur. Si kondektur menatapku yang melihat wanita itu. Si supir menginjak pedal gas, aku sedikit terhuyung.
“Boleh aku duduk di tempat lain?” pintaku pada si kondektur.
“Ya, duduk saja di tempatku,” jawab si kondektur yang kini terpaku bingung menatap si wanita aneh yang kulihat.
“Terima kasih,”
“Ya, tapi mungkin anda akan sedikit pening duduk di sini, tak ada sandaran.”
“Tak apa, jauhkan aku dari dia, itu saja.” Si kondektur tersenyum, dan si supir tertawa dari balik kaca spion kecil di atasnya.
Bus berjalan cukup tenang, si supir kembali menyalakan rokok, dan si kondektur bersandar pada pintu, penumpang lain sibuk dengan kesibukkannya sendiri melawan lembab panas di dalam bus yang mulai membau.
“Apa yang kau lakukan di luar tadi?” si supir bertanya.
“Hanya berjalan,” jawabku.
“Kau menemukan sesuatu?” ujarnya tersenyum kecil.
“Tak ada, hanya panas dan seekor kadal kepanasan.”
“Kadal?” ujar si kondektur.
“Ya, kadal yang kepanasan.”
“Mungkin dia sudah kita lindas tadi.” Ujar si supir lagi dan menarik perseneling.
“Kadal itu bergerak cepat, Toni!” ujar si kondektur.
“Bus kita lebih cepat dari itu.”
“Tidak, kakinya yang kecil meringankan tubuhnya untuk bergerak.”
“Sejak kapan kau tahu tentang kadal?”
“Sejak aku belum mengenal dinosaurus.” Si supir tertawa, dan si kondektur melihatnya sedikit kesal kemudian ikut tertawa.
“Merokok?”
“Tidak,” jawabku. “Aku butuh air.”
“Merokoklah, Pak.” Ujar si supir. “konon merokok dapat menghilangkan haus.”
“Tahu darimana kau, Toni?” ujar si kondektur.
“Barusan, ayolah temani kami merokok, Pak.”
“Aku belum merokok,” sahut si kondektur.
“Nyalakan rokokmu sana, dan kau silahkan ikut merokok, Pak, hausmu akan hilang.”
“Ya, boleh kucoba rokokmu?”
“Dengan senang hati,”
“Rokokku habis, Toni!” ujar si kondektur.
“Pakai rokokku!” ujar si supir. “Lalu, apa yang kau temukan lagi di luar sana, Pak?”
Aku mengambil sebatang rokokknya, menyalakan dan menyesapnya, “Tak ada, hanya maut.”