Hei, ini kan waktunya bulan purnama muncul ! Bagaimana bisa ombak tak pasang, samudera tak menggebukan amarahnya? Lihat, begitu tenang ombak mencium bibir pantai.
Berjuta-juta plankton menjadi bintang bersinar di permukaan lautan, seperti berjuta-juta kunang-kunang terbang rendah di udara malam. Kasihan si sandal, berenang putari samudera hangat sendirian.
“Kau sedang mencari pasanganmu, sandal? Kasihan kau, pucat sudah dan mengkerut kau. Kemari, menepi saja di pasir putih sini. Kan kupungut kau, niscaya kau berguna melindungi alas kakiku walau hanya sebelah.”
Sandal yang sepi. Ditinggal pasangannya, mungkin dia selingkuh dengan dewa lautan. Apa gunanya hanya sebelah sandal? Seperti manusia dengan bayangan tanpa lengan.
Dewa bodoh!
Pasangan sialan!
“Tenanglah, sandal. Aku ada untuk jadi bayanganmu. Kenapa? Karena bayanganku sudah ditikam ‘dia’ di masa lalu. Baik-baiklah denganku.”
Seekor penyu. Kulihat seekor penyu. Susah payah dia merangkak dari bibi pantai. Besar, cukup besar dia. Mungkin 50 tahun, atau mungkin 100 tahun dia berusia. Tua sekali wajahnya, merangkak saja susah. Jejak halus rangkaknya, membekas panjang di atas pasir putih halus ini. Menjauhi semburan ombak di bibir pantai. Kerutan disekitar leher hingga wajahnya tergambar tua, seperti memamerkan rasa iba dan wajah kekalahan. Tempurung keras yang konon abadi, terlihat rapuh dan retak. Tapi retakkan yang tidak terlihat baru. Mungkin dahulu sehabis bertarung dengan hiu atau hukuman dari dewa lautan. Gali dalam, dia menggali dalam pasir putih.
Oh, aku tahu ! Dia ingin bertelur.
“Hei, kukira kau penyu pejantan. Pejantan sepi. Sedang apa kau betina rapuh? Mari kesini, ikut denganku duduk hangat di pasir putih ini sama si sandal !”
Hei, tunggu!
Kenapa dia mengacuhkanku?
“Penyu bodoh, jawablah aku!”
Ah, penyu sialan kau!
“He bocah dungu!”
siapa? siapa itu?
Jerit kencang, menghinaku!
“Dia bukan ingin bertelur, bodoh ! Dia ingin mengubur dirinya, dia sudah terlalu tua untuk arungi samudera !”
Paus besar tergeletak di bibir pantai. Ujung ekor hingga wajahnya mengkerut pucat. Bola mata hitam yang hampir tertutup oleh kematian. Berusaha menunjukkan wajah kesal, namun tertikam kesedihan.
“Ah, kau paus gila ternyata ! Maaf aku lupa hadiranmu, tuan paus. Kukira dia ingin bertelur, tuan.”
“Hah, dasar dungu! Lihat baik-baik ekor dan matanya. Dia pejantan.” Kata si paus malang
“Eh! Benar, dia bukan betina. Ternyata dia pejantan lemah! Hei, maafkan aku penyu sial. Kukira kau betina.”
“Kau ini bocah merepotkan, eh. Bicara sendiri sedari tadi. Sandal bau kau pungut dan diajak bicara. Penyu jantan bisu, kau hina. Kau ini sedang apa, eh bocah?”
“Heh, bukan urusanmu paus gila!”
“Kau ini benar-benar menyebalkan, eh. Terlalu muda kau, disini sendirian menikmati sepi. Kau ingin mati, eh?”
“Tidak, aku tak ingin mati. Apalagi disini. Pasir putih ini terlalu bersih untuk bunuh diri, tuan paus gila.”
“Lantas ?”
“Hanya menunggu si nona. Aku menunggu si nona bulan. Dia ingin menari malam ini. Dan ingin kunikmati. Apa kau juga ingin ikut nikmati, paus gila? Yeah, silahkan mari samasama nikmati.”
“Nona bulan? Menari? Kau ini gila, eh bocah! Pergi, kau mengotori pantaiku dengan halusinasi tololmu!”
Kau yang gila, eh paus!
Terdampar di sini, dengan baumu yang amis perlahan busuk.
Kau yang mengotori pantaiku.
“Heh, sudah kubilang bukan urusanmu! Ini pantaiku!”
Eh, dia diam. Tidak membalas lagi. Heh, memang dia gila. Mungkin sepi sudah membungkamnya. Ini pantaiku, paus gila. Dan sepi adalah temanku.
Oh, malam makin lembab saja. Namun nona bulan belum nampak. Mungkin sedang mempercantik diri.
Bosan!
Merebahkan diri sudah lelah. Si sandal diam saja, tak berkata. Si penyu mungkin sudah berada di surga atau mungkin tersesat di neraka, dia kan bodoh. Aku sungguh bosan merana. Sepi mulai berkhianat, sepertinya…
“Hei tuan paus ? Telah berapa samudera yang kau arungi ?”
Kenapa dia tak menjawab lagi? Jadi bisukah dia? Heh, sepi sudah membuatnya bisu. Bodoh, kenapa malam ini aku ditemani kawankawan yang bodoh.
“Hei, paus gila ! Aku tanya pada kau ! Jangan kau acuhkan !”
Paus gila, sepertinya dia sudah mati begitu saja. Makhluk yang begitu mudah mati. Malang kau paus. Padahal dia ingin lihat nona bulan menari, mungkin. Tapi sudah mati.
Yeah, biarlah. Toh dia sama bodohnya dengan si penyu. Kukubur dia nanti, di samping si penyu.
Oh, lihat! Si penyu pejantan lemah sudah selesai mengubur diri. Ujung ekornya menjulang keluar tak terkubur, eh. Lucu kau penyu.
Malam semakin larut. Sepi pun semakin tangguh tuk berkhianat. Aku tak boleh bernasib sama dengan mereka. Mati dikhianati sepi.
Nona bulan cepat datanglah!
Aku lelah menjerit!
Ah, nona bulan muncul dari balik awan hitam. Terang benderang, di tengah lautan langit gelap. Menerangi bangkai paus gila dan si penyu malang.
Akhirnya…
Akhirnya…
Kau datang nona bulan!
Ha ha ha.. sepi tak jadi berkhianat!
“Lihat itu, sandal! Nona bulan sudah muncul ! Lihat, dia cantik dan mulai jentikkan jemarinya. Dia menari, eh sandal. Kita nikmati bersama sembari tiduri pasir putih ini, wahai sandal sepi!
Hei, setidaknya kau takjub, bukan bisu seperti ini!