Sardi menanggalkan sepasang sandalnya, melemparnya ke
bawah. Menggeser tangga lebih ke pinggir dan menyandarkannya. Ia melihat ke
atas langit yang berawan, matanya menyipit silau. Butuh beberapa saat untuk
menemukan layang-layang yang diterbangkan Ayahnya itu. Sudah sangat tinggi,
terlalu tinggi. Layang-layang itu nampak kecil di langit yang mulai jingga
kemerahan di antara kepulan awan abu-abu yang membuyar.
“Lamanya,”
“Heh, susah mencarinya. Semua orang di sini sepertinya
sudah berhenti merokok, Yah.”
“Kau cari di mana?”
“Tiap warung,”
“Bodoh, kau tidak cari di warung Kang Tunya?”
“Ini, aku akhirnya dapat di sana.” Sardi merogoh
sakunya, mengeluarkan 12 batang rokok yang dibungkus plastik bening lecak.
“Cuma di sana kau bisa dapat rokok.”
“Menyebalkan tiap ke warungnya, Yah.”
“Karena dia tuli,”
“Kurasa dia juga pikun, agak pikun.
“Dia satu-satunya orang di desa ini yang aku suka.
Selain kau, dan Ibumu.”
“Ya, tapi dia menyusahkan. Pantas banyak yang emoh
belanja atau sekedar minum kopi di warungnya.”
“Dia hanya terlalu banyak berpikir, dulu dia suka
menghitung dan menebak angka untuk judi, sebelum tuli. Dia jenius, kau tahu?”
“Orang jenius selalu merepotkan.”
“Begitulah. Tapi aku suka tiap sekedar merokok dan
mengopi di warungnya, di sana nyaman. Dia teman bicara yang menyenangkan, yah
walaupun dia tidak bicara, bisa dibilang tidak tahu apa yang dibicarakan.
Istrinya yang lebih tua renta selalu tersenyum dan menyajikan pisang goreng,
terkadang pisang rebus, yah tak jarang ubi merah rebus. Di sana nyaman.”
“Bagaimana anginnya?” Tanya Sardi mengalihkan
pembicaraan soal Kang Tunya yang tuli.
“Masih stabil, angin bertiup rendah.” Jawab si Ayah.
“Terlalu stabil, ini sudah menjelang sore akan mati.”
Ujar Sardi sembari menutupi api korek dengan telapak lengannya, dan menyalakan
rokok.
Si Ayah melakukan hal yang sama sembari menahan benang
kenur di antara jemarinya. “Kenapa kau selalu menyebutnya begitu?” ujarnya yang
nampak nikmat menyesap asap rokoknya.
“Bukannya memang seperti itu,” jawab Sardi yang
terlihat sama nikmat dengannya.
“Aku selalu ingin tahu kenapa kau terus menyebutnya
begitu,”
“Itu sebutan yang bagus menurutku, lagipula cocok
untuknya.”
“Itu sebutan yang menyedihkan bagiku.”
“Tidak terlalu menyedihkan jika dibanding sebutan Ayah
untuk janda bisu itu.” Sardi tersenyum kecil, kemudian menyesap rokoknya. Si
Ayah memandangnya tanpa wajah beraut.
“Sebutan itu cocok dengannya, dia seperti wujud
kesedihan.” Ujarnya, dan sibuk menyeimbangkan kenur layang-layang.
“Aku masih ingat, soal dia,” ujar Sardi dengan kepulan
asap dari mulutnya. “Di pagi buta dia selalu duduk di teras seorang diri,
ketika tengah malam dia duduk kembali di teras seorang diri, rambutnya selalu
disisir rapih dengan lapisan bedak yang tak terlalu tebal di pipinya yang
merona. Dia gila.”
“Dia menunggu suaminya,”
“Lelaki bodoh mana yang pergi meninggalkan wanita
setia seperti dia. Orang itu pasti buta.”
Si Ayah tidak menyahutnya. Dia tidak ingin membicarakannya,
tidak sekarang. Sardi duduk bersandar, menekuk kaki kanannya dan menyilangkan
kaki kiri di atasnya. Punggung lengan kirinya dijadikan bantalan di kepalanya.
Berusaha mendapatkan posisi yang nyaman. Si Ayah tetap sibuk mengendalikan
layang-layang.
Dari atap rumah itu, mereka bisa melihat jelas
matahari tenggelam di balik bukit di sana. Karena dari tempat mereka berada
menghadap lurus tepat ke arah bukit. Tempat yang nyaman dan hangat untuk
melihat Sang Surya mati tertelan waktu.
Sardi menghisap rokoknya. Melayangkan pikiran di
benaknya. Ia mencoba memikirkan Si Janda bisu itu. Kemudian memikirkan Ibunya,
lalu mendoakannya. Memikirkan beberapa temannya, tidak banyak yang dapat
dipikirkannya, hanya beberapa teman. Mereka teman-teman yang menyenangkan.
Memikirkan hutan dan arus sungai tempatnya dulu bermain. Memikirkan ia bersama
teman-temannya di sana, tak banyak teman yang dapat dipikirkannya. Kembali
Ibunya muncul dipikirannya, lalu mendoakannya lagi. Sekarang ia membayangkan
wujud burung wallet, ia tidak pernah melihat burung wallet, dan ia tidak bisa
membayangkannya. Ia lalu berdoa agar dapat melihat burung itu suatu waktu.
Angin berkesiur menyejukkan telapak kakinya, ia menarik napas panjang mencoba
merasakan aromanya. Melihat layang-layang yang agak menukik yang diterbangkan
Si Ayah. Ia membayangkan terbang seperti layang-layang, beradu balap dengan
burung wallet. Tidak, ia tidak pernah melihat burung wallet. Ia membayangkan
terbang beradu balap dengan seseorang. Dan kini ia mencoba membayangkan
seseorang,membuat perutnya panas naik hingga rongga dada, ia membayangkan hal
yang membuatnya mual dan kesal. Ia memalingkan pikirannya dengan melihat Ayahnya
yang tetap mematung memainkan layang-layang sembari menyalakan rokok yang baru.
Ia melihat wajahnya yang menghalangi cahaya, terlihat seperti siluet. Hidungnya
yang mancung besar terbentuk jelas dengan asap yang mengepul di hadapannya. Ia
memikirkan Ayahnya kini, mencoba membayangkan masa dahulu Ayahnya. Tetapi
Ibunya kembali muncul dipikirannya, lalu mendoakannya kembali.
Ia memandang kearah bukit, kemudian menghela napas
panjang. Jantungnya berdegup kencang, dan tersenyum. Pepohonan yang menghijaui
bukit, angin meniupnya membuatnya nampak menari. Senja mulai muncul menyirami
bukit dengan cahayanya yang kuning kemerahan. Hal yang lama tak kunikmati,
ujarnya dalam hati.
“Kau bisa melakukan ini,” ujar Si Ayah yang membuatnya
tersadar dari pikirannya.
“Hah?” sahutnya.
“Manuver menukik yang tajam,”
“Itu bukan manuver, angin yang mendorongnya.”
Si Ayah tertawa, menarik kenur dengan cepat. Melempar
kaleng susu bekas yang agak berkarat untuk menggulung benang.
“Gulung itu,” suruh Si Ayah.
Sardi menggulungnya, kenur bening kehijauan. Melihat
Ayahnya yang cekatan menarik kenur menurunkan layangan. Layang-layang mulai nampak membesar dalam
jarak beberapa puluh kaki di udara. Si Ayah memutuskan kenur dengan menyulutkan
bara api rokoknya, Sardi melihatnya heran
“Buat apa kugulung,” ujarnya. “kenapa diputus?”
“Dia ingin terbang bebas di udara,” ujar Si Ayah. “aku
ingin sisakan beberapa meter kenurnya untuk memancing.” Sardi selesai
menggulung. Si Ayah menyesap rokoknya, dan nampak terkagum melihat
layang-layang itu terbang menjauh. Menjauhi bukit.
“Sudah kau gulung?” tanyanya.
“Sudah,” jawab Sardi. “sepertinya tidak cukup untuk
memancing.”
“Sungai itu dangkal, tak perlu kenur yang terlalu
panjang.”
“Bukan, maksudku tidak cukup untuk dua orang yang
memancing.”
“Kau mau ikut?” ujar Si Ayah senang, kemudian duduk di
sebelah putranya. “Kukira kau sudah lupa cara memancing.”
“Ya, aku sudah lupa,” ujar Sardi. “lupa kalau Ayah
selalu kalah
Si Ayah tertawa kecil. Kemudian duduk di sisi putranya.
“Memancing bukan soal kalah atau menang, Nak. Ini soal keberuntungan.”
“Ya, begitulah. Ayah selalu kalah soal keberuntungan.”
Mereka tertawa kencang dengan nada rendah. Angin berkesiur seakan membawa jauh
tawa mereka.
Hari semakin sore. Matahari nampak makin menurun dari
langit. Dalam beberapa saat mereka berdiam. Memandang lurus bersama kearah bukit.
Sardi alihkan pandang pada wajah Ayahnya yang duduk
memeluk lutut satu kakinya. Beberapa detik, dan memandang kembali pada bukit. Kemudian
memikirkan suatu peristiwa yang tidak ingin ia pikirkan. Ia merasa muak,
mencoba membuang pikiran itu. Memandang kembali wajah Ayahnya, yang balik
memandangnya tersenyum.
“Ada apa, Yah?” tanyanya.
“Apa?” ujar Si Ayah.
“Apa yang Ayah cemaskan?”
“Maksudnya?” Sardi memandangnya lebih dalam kini. Mata
cokelat besarnya dan pipinya yang kurus cekung.
“Tidak, tak ada apa-apa.”
“Kenapa?” Ayahnya balik bertanya. “Kau ada masalah
apa?”
“Tidak, ng.. maksudku, Ayah seperti sedang memikirkan sesuatu.”
Si Ayah tertawa kecil. “Apa bahasa tubuhku terlihat
seperti itu?”
“Tidak tahu. Hanya merasa.”
“Lalu apa yang kau cemaskan, Nak? Kau terlihat cemas,
dan itu nampak jelas.”
“Aku tidak merasa cemas. Ya, walaupun cemas, aku
mencemaskan kau, Yah.”
“Tidak ada yang perlu dicemaskan dariku. Ada masalah
apa sebenarnya?”
“Ng, Ayah, kau tahu. Aku tidak suka senja sore,
seperti ini.”
“Aku tahu. Itu salah satu yang kucemaskan darimu.”
“Ya, jika melihatnya, aku merasa muak. Selalu teringat
wanita itu.”
“Siapa?”
“Karmah.”
“Dia terlalu cantik untuk dimuaki.”
“Tidak, bukan. Aku meninggalkannya tepat saat waktu
seperti ini, dan aku muak mengingatnya.” Sardi mengernyitkan dahinya, dan merasa
muak pada dirinya sendiri. Bukan, ia hanya tidak ingin membenci Karmah karena
penyesalannya. Ayahnya melihat tajam padanya.
“Itulah lelaki, Nak,” ujar Si Ayah. “Lemah terhadap
perasaannya, tapi ingat ini. Terkadang itu dapat menarik di mata wanita,
sebagian wanita.”
“Seperti Ibu?” tanya Sardi tersenyum.
“Begitulah, Ibumu menyukai lelaki payah.”
“Kurasa Ayah lelaki beruntung yang ada.”
Mereka tertawa kembali. Entah menertawakan apa,
terdengar seperti menertawakan diri sendiri yang merasa payah.
“Aku pikir kau pun akan begitu,” ujar Si Ayah dengan
masih tertawa kecil. “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.”
“Aku,” ujar Sardi sama masih dengan tawa kecilnya. “aku
buah yang tak pernah jatuh dari pohonnya.”
Tawa mereka berlanjut. Dan itu sudah cukup untuk meriuhkan
petang yang sepi ini, tapi tidak cukup lama untuk menghabiskan waktu menunggu
senja tenggelam sepenuhnya. Mereka tertawa singkat. Sesaat mereka berdiam
kembali. Memandang bukit yang memunggungi mentari senja.
“Lalu apa yang kau cemaskan, Yah?” tanya Sardi memulai
bicara kembali.
“Aku merindukan Ibumu.” Jawab Si Ayah. Sardi memandang
matanya yang lurus tajam menatap bukit. “Aku juga sama denganmu, tapi aku tidak
muak, hanya merasa rindu jika memandang senja seperti ini.”
“Mungkin Ayah harus menikah.”
“Lagi? Tidak, aku terlalu mencintai Ibumu.”
“Mungkin dengan Janda bisu itu.”
“Tidak, tidak akan mungkin. Aku hanya kagum padanya.”
Sardi tetap memandang wajah Ayahnya dalam diam.
“Ya, benar,” ujarnya. “Kurasa Ayah tidak cocok
dengannya, kalian terlalu dalam terbelenggu masa lalu, maksudku cinta sejati.”
“Bukan, kau salah,” ujar Ayahnya. “Aku hanya senang
dengan kesendirian sekarang, terkadang sakit karena memutar kenangan kembali,
terasa nikmat.”
“Ayah benar, itu mengapa banyak orang yang sudah tahu
rasa sakit karna teringat kenangan tapi mereka tetap mengingatnya.”
“Karena mereka tahu rasa sakitnya begitu terasa nikmat.”
Mereka saling memandang dan tersenyum kembali. Angin bertiup
semakin kencang. Langit memerah kekuningan. Lima ekor burung terbang melintas
di atas bukit yang terhias oleh senja.
Sardi memandang bukit lebih nyaman. Ayahnya menyalakan
rokok kembali. Angin berkesiur kencang menggoyangkan pepohonan yang menimbulkan
bunyi-bunyi gesekkan yang terasa menenangkan.
Senja, ujar Sardi membatin. Senja nampak seperti,
kehampaan, kesedihan. Warna yang memilukan. Bentuk yang mengagungkan dan
menyedihkan. Dunia akan merasa kehilangan penerangnya untuk beberapa jam. Apa
dunia akan merasa kesepian tanpanya? Dunia masih memiliki bulan. Bulan, bulan
hanya kotoran kecil. Wujud ilusi kesepian itu sendiri, lebih memilukan. Yang
menakjubkan terkadang selalu yang memilukan, yang memilukan terkadang selalu
yang menakjubkan. Seperti Ayah yang takjub
pada Kang Tunya tuli dan Janda Bisu itu, terutama Ibu. Dan seperti
diriku yang takjub pada Ayah.
“Kau lihat senja itu?” Si Ayah berkata.
“Ya,” jawab Sardi yang kini duduk bersila.
“Tuhan itu seniman, Nak,” ujar Si Ayah sembari
memandang kagum. “saban sore Ia selalu melukis dunia dengan warna-warna
mengharukan seperti itu.”
“Saban malam Ia membentuk pola lingkar dan banyak noda
titik dengan warna jingga pucat di kanvas gelap,” ujar Sardi meneruskan.
“Aku tahu, itu bulan dan bintang.” ujar Si Ayah
tersenyum.
Mereka saling menatap satu sama lain, kemudian tertawa
kecil kembali, tapi terdengar cukup keras.
Langit semakin memerah menuju gelap. Di waktu ini
angin akan bertiup dari arah bukit menuju ke bawah. Membawa sejuk dan aroma
juga tawa cemas mereka.